Bab 66 - Pantas Diadili

18K 993 27
                                    

Sashi melenguh, saat merasakan kepalanya berdenyut sakit. Meringis hingga kemudian terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dalam posisi selang infus tertancap di lengannya. Dahinya, spontan mengernyit kebingungan. Sampai akhirnya Sashi mengedarkan pandangannya ke segala arah sampai mendapati kedua orang tuanya, tengah menatapnya cemas. Duduk di samping kanan dan kirinya.

Di sana, terdapat banyak alat medis. Ruangan serba putih dan bau obat-obatan juga baju pasien yang saat ini tengah dia kenakan. Kemudian kembali melihat orang tuanya yang terus-menerus menatapnya.

"Ma, Pa? Kalian ... k-kenapa aku ada d-di sini?" tanyanya dengan lirih. Suaranya terdengar serak dan tenggorokannya sedikit kering.

"Arkan mengabari kami kalau kamu pingsan. Sebenarnya, apa yang terjadi?"

Kecemasan di wajah tua Desty, tidak bisa hilang begitu saja. Dia sangat khawatir dengan kesehatan anaknya, terlebih saat Arkan mengabarinya dalam keadaan panik. Membuat dia dan suaminya cepat-cepat menuju membawa Sashi ke rumah sakit. Tidak ada kejelasan tentang bagaimana Sashi bisa pingsan, Arkan hanya bercerita jika Sashi pingsan saat mereka sedang berbicara.

"Kak A-Arkan? Di m-mana dia s-sekarang, Ma?"

Sashi kembali mengedarkan pandangannya ke arah lain, mencari sosok suaminya. Namun, dia sama sekali tidak mendapati Arkan di ruangan itu selain orang tuanya. Sashi masih ingat, kalau Arkan marah dan mengetahui semuanya kemarin. Sudah jelas, jika laki-laki itu tidak akan ada di sana.

Ini semua salahnya. Ini salah Sashi.

Tanpa sadar, air mata kembali mengalir dari sudut matanya. Andai saja waktu itu dia tidak menemui Kiana, andai saja dia tidak bohong dan menceritakan semuanya, Arkan pasti tidak akan marah. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Sashi sungguh sangat bingung.

"Arkan pergi sebentar, katanya dia ada urusan yang harus diselesaikan," ucap Bram sambil mengusap rambut putri tunggalnya.

Sayangnya, mendengar jawaban itu, Sashi justru malah berpikir kalau Arkan benar-benar meninggalkannya dan tidak akan kembali, hingga air matanya lagi-lagi mengalir. Kali ini, lebih banyak hingga Desty yang melihat anaknya menangis tampak panik. Apalagi saat Sashi nekat bangkit dan berkata ingin bertemu Arkan.

"Aku mau Kak Arkan. Aku mau bertemu dengannya, Ma, Pa."

"Tidak, kamu di sini dulu. Tubuhmu masih lemah." Bram dan Desty menahan anak mereka yang keras untuk tetap tidur di ranjang rumah sakit.

"Tapi, Ma, Pa--"

"Sashi, kamu harus tenang, Sayang. Jangan gegabah! Pikirkan janin yang ada dalam perutmu!"

"A-apa? Janin?"

Sashi yang awalnya terus memberontak dan memaksa untuk menemui Arkan, harus diam dengan tubuh membeku. Matanya membulat dan menatap tak percaya ke arah orang tuanya. Apa telinganya tidak salah dengar? Benarkah?

"Kenapa kamu sangat kaget? Apa kamu tidak tahu, kalau kamu sedang hamil?"

Dengan tegas, Sashi menggeleng. Raut wajahnya tampak penuh kebingungan. Dia sama sekali tidak percaya. Sashi tidak merasakan apa pun tanda-tanda kehamilan. Dia hanya sedikit aneh saat sama sekali tidak mengalami datang bukan. Namun Sashi hanya berpikir, kalau dia tengah mengalami gangguan dan tadinya berniat untuk diperiksakan diri ke dokter.

"Aku, benar-benar tidak tahu. Bagaimana ... mungkin?"

"Memangnya, kamu tidak ngidam atau muntah-muntah? Pusing dan lemas? Pegal?"

Semua pertanyaan itu, langsung dijawab gelengan kepala oleh Sashi. Dia memang cepat lelah, tapi itu sudah biasa. Kecuali perubahan tubuhnya yang lebih sedikit berisi di beberapa bagian dan porsi makanan yang sedikit lebih banyak dari biasa. Hanya itu. Muntah-muntah dan pusing, sepertinya semua itu terjadi pada Arkan.

Sashi spontan mengusap wajahnya saat menyadari, jika memang Arkanlah yang mengalami semua tanda-tanda kehamilan yang terjadi padanya. Sikap aneh dan sensitif suaminya, rupanya karena mereka akan memiliki anak.

Secercah perasaan senang meliputi hatinya. Dia akan menjadi ibu, lebih tepatnya calon ibu. Anaknya dengan Arkan telah tumbuh di dalam rahimnya. Sashi sangat amat bahagia, hingga air matanya kembali mengalir. Membuatnya lantas buru-buru mengusapnya dan menggerutu. Dia menjadi lebih sensitif saat tahu akan menjadi ibu.

Tapi, bagaimana ini? Apa Arkan tahu kalau mereka akan memiliki anak? Apa dia tahu, kalau Sashi hamil? "Ma, apa Kak Arkan tahu kalau aku hamil?"

Bram dan Desty saling melirik, "Ya, Arkan sudah tahu. Tapi, dia langsung pergi setelah dokter memberitahunya."

Wajah Sashi berubah murung. Sekelebat pemikiran buruk memenuhi isi kepalanya. Dia berpikir, jika Arkan tidak mau melihat dan menerima kehamilannya atau mungkin, Arkan berencana meninggalkannya setelah ini?

"Apa yang Kak Arkan katakan saat pergi? Apa dia mengatakan sesuatu?"

"Dia hanya bilang ada urusan, dan akan segera kembali."

"Hanya itu?"

Desty mengangguk, membenarkan. Membuat Sashi menghembuskan napas panjang dan mengalihkan pandangannya menatap langit-langit ruangan dengan seribu pertanyaan di kepalanya. Masih belum mengetahui apa maksud Arkan sebenarnya.

***

Di sebuah ruangan yang merupakan sebuah kamar, Arkan duduk dan menatap pemandangan di luar jendela, tepatnya ke arah mobil dengan penuh pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Hingga dia kemudian berjalan ke arah kaca yang memperlihatkan setengah badan.

Arkan menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Memerhatikan area wajah, ada beberapa bekas luka dan darah yang baru di sana. Tidak banyak, tapi cukup parah. Selain di sana, di bagian kepalan tangannya juga tampak sedikit lebam, seolah dia telah memukul sesuatu.

Berantakan dan sangat tidak enak dipandang.

Penampilannya benar-benar tidak mencerminkan Arkan yang selalu tampil rapi dan sempurna. Bahkan ruangan di mana dia berada saat ini, tampak cukup berantakan. Barang-barang sudah tidak pada tempatnya lagi.

Kekacauan yang dibuatnya benar-benar luar biasa. Arkan bahkan berpura-pura tuli saat mendengar teriakan mamanya yang terus memanggil Andrew dan membawa adiknya masuk ke dalam mobil--menuju rumah sakit. Dia hanya bisa terdiam sambil mengambil napas perlahan untuk mengontrol kemarahannya. Terduduk di salah satu sofa sambil berpikir tenang.

Sampai saat Arkan tengah terdiam dan memikirkan sesuatu, seorang pelayan tiba-tiba masuk ke ruangan itu. Membuat Arkan langsung menoleh. Tidak, bukan pelayan rupanya, melainkan Kiana.

Seketika, kernyitan di dahinya muncul. Arkan menatap Kiana yang berjalan tanpa rasa takut ke arahnya. Setelah melihat kemarahannya, wanita itu malah ikut duduk di sampingnya dengan ekspresi cemas dan berusaha untuk menyentuh rahang Arkan yang terluka. Namun hal tersebut segera dia tepis.

"Jangan menyentuhku."

"Ah, maaf. Aku hanya khawatir melihat Kak Arkan terluka."

Arkan memalingkan wajahnya ke arah lain dan menghiraukan keberadaan Kiana. Pikirannya terus tertuju pada Sashi dan anak yang dikandung istrinya.

"Aku benar-benar tidak tahu kenapa Andrew bisa berselingkuh dengan Sashi. Padahal, aku baru saja ingin menjalani hubungan serius dengannya, tapi dia malah mengkhianatiku," ucap Kiana dengan ekspresi sangat sedih. Menutup sebagian wajahnya dengan air mata yang bercucuran. Membuat Arkan langsung menatapnya. Bukan pandangan iba atau kasihan, tapi datar.

"Apa yang Kak Arkan akan lakukan setelah ini? Apa Kak Arkan akan menceraikan wanita itu? Dan mengirim mereka untuk diadili? Aku rasa, itu pantas untuk mereka," ucap Kiana dengan menggebu-gebu.

Namun karena perkataannya itu, sontak saja Arkan langsung tersadar akan sesuatu. Dia sedikit tersentak dan berpikir. Hingga akhirnya, menatap Kiana sangat dalam dan tersenyum tipis. Sangat amat tipis.

"Ya, kau benar, mereka pantas diadili."

Perfect Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang