[17] Tenang dan Runtuh Sendirian

6.3K 696 224
                                    

Tulisan petik satu yang di italic + bold itu suara orang lain yang masuk dalam pikiran Arda. Sedangkan tulisan petik satu yang hanya di italic itu semacam suara yang Arda ciptakan sendiri, entah itu dalam bentuk sugesti atau justru pikiran negatif.

°°°

Disarankan memutar lagu di multimedia;)

°°°

⚠️ Panic attack, anxiety disorder, sensitive words, blood, self harm ⚠️

°°°

'BRUKKK'

Langkah Arda tercekat. Napasnya terasa tertahan untuk sesaat. Manakala tubuhnya membalik kaku, hal pertama yang ia dapati adalah sang adik yang terbaring tak berdaya di atas ubin dingin.

"A-ares ..." Suaranya mengalun penuh getar. "A-ares, i-ini ngga lucu."

Jantung Arda rasanya mencelos hingga ke perut saat sosok yang dipanggilnya tak kunjung merespon.

Ares tidak membohonginya kali ini? Adiknya benar-benar tak sadarkan diri?

Napas Arda berhembus cepat, jantungnya mulai bertalu. Kendati berat, ia paksakan sepasang kaki kakunya mendekati sang adik. Pemilik sabit kembar itu lantas berlutut, tangan dingin dan gemetarnya terangkat guna menepuk pelan pipi Ares.

"A-ares ... udahan ... i-ini ngga lucu."

Lagi, tidak ada respon.

"Ares, bangun!"

Masih tak membuahkan hasil.

Arda kalut. Berbagai asumsi negatif berenang ria di pikirannya. Kepalanya mulai berdenyut pening bersama debaran tak nyaman di dada. Tubuhnya terasa kebas dan kesemutan bersama keringat dingin yang bercucuran. Ia kambuh.

'Ares kayak gini karena lo.'

'Ngga guna banget jadi abang.'

Arda menggeleng pelan sembari mengatur napasnya, berusaha mengenyahkan berbagai pikiran itu.

'Da, lo harus tenang.'

'Jangan egois.'

'Ngga guna.'

Sulung Prasetya itu memejam beberapa saat seraya menarik helai rambutnya kala dua kubu dalam dirinya berperang.

'Lo oke, semua ini akan berlalu.'

'Lo kuat.'

Setelah merapalkan kalimat tersebut sekian kali, netra Arda kembali terbuka. Ini bukan saatnya lemah. Ares butuh pertolongan. Adiknya jauh lebih penting daripada pikiran-pikiran bodoh yang menginvasi kepalanya.

Arda menghela napas kelewat panjang. Kemudian, tangan tremornya mengapit kedua ketiak Ares, berusaha kuat mengangkat tubuh itu. Namun, semua usahanya sia-sia. Arda justru kembali terduduk. Ia tak bisa, ia tak kuasa. Bukan karena Ares berat, tapi karena tubuhnya sudah kepalang lemas.

Arda meremat telapak tangannya kuat-kuat. Panik dan cemas itu melebur jadi satu.

Bagaimana caranya menggendong Ares untuk menaiki tangga?

Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ares?

Bagaimanaㅡ

'Tenang Arda, jangan panik.'

'Ares butuh lo.'

Sungguh, Arda ingin menangis putus asa. Otak cerdasnya terasa buntu sebab disumpal oleh ramai pikiran negatif. Ia kambuh, sementara adiknya perlu bantuan segera.

HOME [END]Where stories live. Discover now