[35] Alta dan Luapan Amarahnya

5.6K 698 349
                                    

⚠️Sensitive words, blood, accident⚠️

°°°

Dada Ares bergemuruh hebat. Terasa panas dan membara dalam satu waktu, bak lava yang siap dimuntahkan dari dalam kawah. Terasa perih dan nyeri, bak sayatan belati. Sesak itu menyeruak, menusuk ulu hati tanpa permisi. Oksigen yang masuk ke tenggorokan Ares rasanya dibatasi sebuah sekat hingga membuat napasnya menderu berat.

Pemuda tampan itu mengigit bibir bawahnya guna menahan erangan, bersama dengan jemari yang ia remat kuat.

'Jangan dulu,' rapalnya dalam hati. 'jangan sekarang.'

Dilihatnya, bunda bangkit. Ares refleks saja menahan pergelangan sang bunda dengan telapak tangannya yang penuh keringat. Menghela napas berat beberapa kali, ia coba menguatkan diri untuk berkata, "Jangan pergi, Bun," bisiknya kelewat pelan dengan binar penuh harap.

Ares kira, bunda akan berubah pikiran dan memberinya sebuah dekapan hangat. Atau untaian kalimat penenang yang menegaskan jika beliau tak akan pergi, lagi. Namun, Ares keliru. Wanita yang telah melahirkannya itu justru perlahan melepas pegangan tangannya. Saat itu juga Ares tau, keinginannya ditolak telak.

"Maaf, Sayang. Maaf."

Setelah berkata demikian, bunda mulai memacu langkah, meninggalkan Ares dengan luka yang membongkah. Meninggalkan Ares dengan pijakan goyah dan lutut yang melemah.

Ares berusaha berdiri. Tangannya yang lemas berpegangan kuat pada meja, mengabaikan nyeri yang menggerogoti dadanya. Ia ingin menyusul bunda. Ia tak ingin bunda pergi lagi meninggalkannya. Tapi sayang, tubuh ringkihnya tak sekuat ekspektasi, terlebih lagi saat serangan itu menggempur jantungnya. Ares limbung kala menjejakkan langkah, kaki gemetarannya tak bisa diajak kerja sama. Pemuda itu kehilangan keseimbangan hingga tubuhnya oleng ke samping.

Ares tak tau apa yang terjadi selanjutnya karna hanya gelap yang menyapa.

°°°

Ayu berjalan mondar-mandir di depan pintu IGDㅡyang masih tertutup rapat sembari meraup wajah sembabnya. Wanita itu menangis.

Ini salahnya. Ares kambuh karenanya.

Ayu sungguh merasa tercekik kala mendapati sang anak tumbang dengan darah segar yang mengalir di pelipis.

"Bunda ... duduk dulu." Ini suara Axel yang tengah berdiri tepat di samping pintu IGD. Sungguh, tadi rasanya jantung Axel mencelos ke perut saat melihat Ares limbung dengan kepala yang membentur sudut meja cukup keras. Tanpa membuang masa, Axel berlari menuju sang sahabat dan membawanya ke rumah sakitㅡbersama Ayu.

Ayu menghentikan gerak kakinya, lalu menatap Axel yang tampak kacau dengan bercak darah di beberapa bagian seragamnya.

"Makasih udah selalu bantu Ares ya ... Axel."

Axel terdiam sejenak, matanya yang berkaca-kaca balik menatap wanita di hadapannya. "Bunda ... inget?" tanyanya pelan.

"Gimana bunda ngga inget, Nak?" Ayu maju perlahan, lalu memeluk tubuh tegap Axel sembari mengusap punggung kokoh itu. Baginya, Axel sudah seperti anak sendiri.

"Makasih ya, kamu ngga pernah ninggalin Ares." Ayu berucap lagi seraya mempererat pelukannya.

Detik itu juga, air mata Axel menetes tanpa komando. Dekapan bunda sang sahabat masih sama hangatnya seperti dulu. Axel saja serindu ini, apalagi Ares dan saudaranya?

HOME [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant