[16] Topeng Luruh, Topeng Runtuh

6.6K 695 324
                                    

Disarankan memutar lagu di multimedia;)

°°°

"G-gue mau balik." Arda bergegas bangkit dan menyambar jaketnya yang tersampir di kursi belajar Aji.

"Kok buru-buru?" tanya Aji keheranan. Namun, pertanyaannya barusan hanya seperti angin lalu bagi Arda.

"Da? Arda?" Aji putuskan untuk menyusul langkah Arda yang tergesa-gesa, bahkan pemuda itu sampai tersandung langkahnya sendiri. Aji sedikit curiga dengan gerak-gerik Arda, takut-takut sesuatu dalam diri sahabatnya kembali datang.

"Arda, tunggu," kata Aji. Akan tetapi, sahutan yang ia terima masih nihil. Arda justru semakin jauh berlalu. Hal itu membuat Aji memacu langkahnya lebih cepat.

"Da!" Aji menarik pundak Arda agak kuat hingga tubuh sang empu membalik paksa menghadap dirinya. Dapat Aji lihat, napas sahabatnya itu berhembus tak beraturan. Lengkap dengan tangan yang terlihat gemetaran dan sorot panik di sepasang sabitnya.

Aji rasa tebakannya benar. Sesuatu dalam diri Arda mulai bergejolak mencuat kepermukaan.

"G-gue mau pulang, Ares kambuh." Arda berusaha berucap setenang mungkin meski getar pada suaranya terdengar cukup kentara.

"Gue anter," putus Aji.

"Ngga usah," tolak Arda cepat.

"Gue anter, Da."

"Gue bilang ngga usah!" Suara Arda tanpa sengaja meninggi.

"Oke, gue anter." Aji tak mengindahkan ucapan Arda. Segera merebut kunci mobil yang ada di genggaman sahabatnya itu. "Bahaya ntar kalo lo nyetir sendirian," katanya, kemudian mendudukkan diri di kursi pengemudi.

Arda tak bisa lagi membantah. Ia tak punya pilihan lain selain menurut dan memutar langkah untuk duduk di kursi penumpang, di samping Aji.

Aji sendiri mulai menjalankan kendaraan mewah milik sang sahabat.

Arda membasahi bibir. Pasang matanya terbuka dan terkatup beberapa kali, berusaha menenangkan pikiran. Napasnya berhembus berat dan lambat seakan tercekat. Tangan kanannya yang bergetar hebat masih ia remat sekuat mungkin, sementara tangan kirinya kini bergerak naik mengusap dada, sesekali memberikan pukulan di sana.

"Tenang, Da. Tenang. Atur napas dulu," ujar Aji, fokusnya kini terpecah antara jalan dan sang sahabat. "gue tepiin dulu ya mobilnya?"

Arda menggeleng. "Gue oke," katanya pelan.

"Tapiㅡ"

"Jangan berenti."

Aji mengalah. Pikirnya, Arda pasti bisa mengatasi sesuatu yang menyerangnya. Namun, ia tak menyadari jika pukulan di dada Arda berlabuh kian kencang.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Hingga menit kelima, ketenangan yang Arda cari tak kunjung menampakkan diri. Tangan kanan yang tadinya terkepal ia angkat, menyugar surainyaㅡyang mulai lepek karena keringat ke belakang. Tapi, lama-kelamaan, sugaran itu berubah menjadi remasan kuat.

Aji lekas menepikan kendaraan yang ia kemudikan kala menyaksikan tindakan Arda. Jemarinya lantas menahan pergerakan tangan si pemilik netra sabit. "Udah, Da. Udah. Ares ngga apa-apa, percaya sama gue. Everything will be okay."

Arda menggeleng. Tidak. Pasti ada yang tidak beres dengan Ares, sebab selama ini, adik beda 12 menitnya itu hampir tak pernah mengeluh perihal sakitnya di grup.

HOME [END]Where stories live. Discover now