[25] Everything Looks Blue and Grey

6.3K 704 243
                                    

Disarankan memutar lagu di multimedia;)

°°°

Gemercik bunyi hujan terdengar mengenai atap rumah, membentuk melodi sederhana yang sedap didengar oleh telinga. Sudah beberapa saat berlalu, namun tetesan air dari langit itu belum jua berhenti hingga kini. Nampaknya, sang langit belum puas menumpahkan tangisnya pada bumi. Intesitasnya tidak terlalu lebat, namun cukup untuk membuat tanah yang kering menjadi lembab.

Bersama waktu yang kian berjalan, akhirnya Arda berhasil menaklukkan panic attack yang membelenggunya. Ia berusaha menenangkan diri dengan metode butterfly hug*¹. Memang sedikit memakan waktu, namun cukup efektif untuk meredakan rasa panik tak beralasan yang menderanya.

Untuk kali ini, Arda kembali berhasil memenangkan pertempuran dengan dirinya sendiri. Mungkin terdengar berlebihan, namun memang begitu adanya.

Arda menilik jam yang tergantung di dinding kamarnya. Jarum pendek benda tersebut hampir merujuk ke angka 4. Si tampan bernetra sabit itu mengernyit tipis. Pukul 4, Ares bilang mereka akan mengunjungi psikiater pada pukul 4. Seingatnya, dari tadi tidak ada tanda-tanda kepulangan Ares.

Apakah Ares lupa jika harus menemaninya ke psikiater?

Arda mengambil ponselnya, kemudian mengirimkan beberapa pesan pada sang adik.

Arda menaruh ponselnya ke pangkuan, sembari menunggu, ia membaca buku dan menyumpal telinganya dengan earphone

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arda menaruh ponselnya ke pangkuan, sembari menunggu, ia membaca buku dan menyumpal telinganya dengan earphone. Namun, hingga menit kesekian, Arda tak kunjung mendapat balasan.

Aneh. Pesannya diterima, tapi tidak dibaca. Tidak biasanya Ares seperti ini.

Arda lantas menekan ikon panggilan. Akan tetapi, hingga kali ketiga pun, Ares tak jua mengangkatnya.

Arda menggigiti kukunya karena khawatir. Berbagai asumsi buruk itu datang lagi mengunjungi benaknya tanpa undangan. Arda menggengam jemarinya sembari mengatur laju respirasinya yang terasa mulai sesak. Jantungnya kembali berdetak dengan tempo yang tak nyaman.

'Gimana kalo Ares kenapa napa?'

'Ares ngga kecelakaan 'kan?'

'Kenapa Ares ngga jawab pesan gue?'

'Kenapa ngga jawab telpon gue?'

'Gimana kalo Ares ada masalah?'

'Gimanaㅡ'

Arda menggeleng kecil. "Ares ngga papa," monolognya.

'Ares ngga papa,' ulangnya dalam hati.

Kendati begitu, Arda tak bisa membohongi diri. Rasa cemas itu membumbung tinggi kala otaknya terus menerus mengirim sinyal dan asumsi tak baik. Arda berusaha mengenyahkannya, namun sukar sekali.

HOME [END]Where stories live. Discover now