[39] Happiness Photograph

5.5K 652 219
                                    

Disarankan memutar lagu di multimedia;)

°°°

Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing makes us feel alive

°°°

Semilir angin membawa hawa sejuk sekaligus menenangkan, menggoyang pelan dahan pepohonan, membuat tetesan embun mulai menjatuhkan diri dari dedaunan. Sang mentari belum nampak menyembulkan diri, barangkali masih terlalu malas beranjak dari peraduannya yang diselimuti mega yang cukup tebal.

Hari masih terlalu pagi untuk dimulai, namun sepasang mata bulan sabit itu terbuka. Napas sang empu, Arda, terdengar berkejaran dengan dada naik turun cepat disertai debaran tak nyaman. Keringat di dahinya berlomba turun, padahal cuaca maupun suhu ruangan yang ia tempati tidak panas sama sekali.

Arda mengusap peluh yang membanjiri wajahnya dengan perpotongan siku, kemudian, tangan tremornya terayun mengusap dada. Mulutnya sedikit terbuka, mengatur tempo napas yang berantakan sembari mengambil pasokan oksigen untuk parunya yang terasa dihimpit batu tak kasat mata. Sementara itu, tangannya yang lain sibuk mengepal erat, menahan buncahan gelisah yang entah datang darimana.

'Tenang, Da. Lo bisa ngelewatin ini. Lo kuat. Semua ini pasti berlalu.'

Arda sungguh ingin mengumpat kala serangan panik itu datang lagi tanpa permisi, mengganggu tidurnya yang belum lama. Namun ketimbang mengumpat, ia berusaha mensugesti diri, merapalkan berbagai kalimat untuk memberi stimulus pada otaknya jika ia bukanlah orang lemah.

Tidak mudah melalui fase ini, tapi, sekian lama berdampingan dengan serangan panik dan gangguan kecemasan berhasil membuat Arda mulai terbiasa dengan perasaan gundah yang menyergapnya, tak kenal waktu dan tempat. Meski tak dapat dipungkiri, terkadang ia tak bisa mengendali diri dan kalah. Sejatinya, Arda bukanlah sosok sekuat yang terlihat. Ia hanya manusia biasa yang punya titik lemah.

Kurang dari 10 menit, Arda berhasil berdamai dengan ramai di kepalanya yang mengundang gundah gulana tak berarah. Setelah cukup tenang, Arda beringsut kecil, sedikit menggeser tubuh guna meraih gelas dan teko air yang ada di atas nakas, tak jauh dari sofa tempatnya tidur. Dituangkannya air di dalam teko tersebut, lantas meneguknya perlahan agar tak tumpah. Maklum, tangannya lemas dan masih bergetar.

Selepas itu, Arda mengembalikan gelas di tangannya, kemudian menyandarkan kepala pada sandaran sofa sembari memejamkan mata.

'Sampe kapan gue kayak gini?'

'Kapan gue bisa sembuh dari penyakit sialan ini?'

'Gue ngga berguna.'

'Anak sulung nyusahin.'

Sabit kembar yang terasa berat itu Arda paksa untuk kembali terbuka, agar berhenti memikirkan hal-hal buruk. Kepalanya menoleh kecil, melirik bunda dan ayah yang tidur duduk dengan jarak yang cukup jauh. Untuk sejenak, guratan lelah di wajah mereka tersamarkan. Kedua orang hebatnya itu tampak damai memeluk mimpi.

Arda lantas beralih menatap brankar Alta. Hatinya kontan menghangat kala mendapati kedua adiknya terlelap di satu brankar yang sama. Tangan kanan Alta berada di pelukan Ares bak bantal guling, sedangkan tangan kirinya yang tertusuk jarum infus terulur di samping badan.

Arda kembali menggulir atensi, kali ini terfokus pada posisi Ares. Pemilik sabit kembar itu dibuat meringis pelan saat melihat tangan kanan Ares bertengger nyaman di atas perut Alta, hampir mengenai bagian luka jahitan si bungsu. Arda bangkit, membawa langkah gontainya menuju brankar Alta, lekas memindahkan tangan Ares agar tak menimbulkan masalah baru. Mengoyak jahitan, contohnya.

HOME [END]Where stories live. Discover now