Luka dan Penawarnya

18 2 14
                                    

Ada sejuta kisah di Latibule, itu benar adanya. Kisah-kisah itu mungkin datang silih berganti dari para pengunjungnya, tapi ada beberapa kisah yang justru berasal dari awak di dalamnya. Kisah pilu Juna misalnya, yang sudah belasan kali jatuh bangun mengerjakan skripsinya sambil sesekali diselangi usaha mengalihkan kepenatan dengan meracik kopi untuk para pelanggan, menghadirkan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri ketika dua irisnya mampu melihat para penikmat kafein itu tersenyum berkat sihir dari kedua tangannya. Sayang saja sihirnya belum sehebat itu untuk memberi kepuasan bagi dosen pembimbingnya segera menyetujui lembar skripsinya.

Ada lagi kisah cinta Dion dan kekasihnya yang bak roda berputar. Kadang di atas ketika keduanya tengah benar-benar di buai asmara seolah setiap sudut Latibule harus menjadi saksi bisu bagaimana keduanya saling mengasihi, tapi tak jarang mereka berada di tempat serendah-rendahnya hubungan ketika pilihan tersisa hanyalah Dion yang selalu membiarkan kekasihnya berlari keluar dari Latibule dengan amarah dan umpatan sebelum keduanya mencapai titik akhir permasalahan mereka.

Serta kisah Langit yang menyandang status paling membosankan menurut orang lain. Kisah Langit tak lebih dari segala laju hidupnya yang bergerak monoton, bekerja di perusahaan Periklanan sebagai Creative Director dari pagi sampai sore hari yang nanti akan dilanjut dengan kesibukannya mengurus Latibule, tak jarang juga waktu tidurnya bahkan dikorbankan untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk atau menghitung ulang kebutuhan di Latibule. Kalau ada yang bisa membedah isi kepala Langit, kemungkinan isi di dalamnya tak lebih dari sebatas pekerjaan dan pekerjaan lainnya. Seolah Langit memang dilahirkan untuk terus-terusan bekerja tanpa lelah.

Bagai sebuah mobil yang terus berjalan di lintasan yang sama, hidup Langit yang bergerak konstan tak jarang membuat Dion dan Juna yang sudah dikenal selama empat tahun lamanya ikut prihatin. Mereka berdua selalu kompak ingin melakukan sesuatu untuk membuat laju hidup Langit sedikit lebih bervariasi, sayangnya sejak setahun terakhir belum ada sedikit cela untuk membuat niat baik mereka terwujud.

Tapi, setiap kali manusia kehabisan cara untuk berusaha, ketika itulah Tuhan selalu punya keajaiban dan sedikit ketidaksengajaan yang membuat manusia seakan dipantik kembali untuk meraih tujuannya. Begitu pula dengan Dion dan Juna hari ini yang untuk pertama kalinya menyambut dua tamu yang datang ke Latibule dengan wajah bingung dan terkejut dibanding senyum mereka dan sapaan ramah seperti biasa.

Sementara Langit yang hari ini datang terlambat seperti tidak sempat merepresentasikan senyum tipis dan tepukan Dion di bahu kirinya saat ia menyampaikan penyesalan keterlambatannya karena rapat kerja di kantor yang berjalan lebih lama dari seharusnya.

"Istirahat dulu, Bang. Muka lo keliatan capek banget" Tegur Juna ketika Langit dengan terburu-buru langsung memakai apron dan perlengkapan kerjanya yang lain.

"Nggak usah, gue nggak apa-apa. Sini, pesanan mana aja yang belum?" Tanya Langit sambil mendekat ke arah Juna yang sedang memilah kertas pesanan.

"Golden Latte meja 1, Vietnam Coffee meja 9, Signature Lattebule sama Cheese cake mejanya Kak Ara--"

"Tumben Ara nggak pesan Ice Americano?" Gumam Langit spontan namun masih bisa didengar Juna dengan jelas.

"Kak Ara pesen Americano kok, Signature Lattebule pesenan cowoknya" Jawaban Juna membuat Langit menatapnya sepersekian detik untuk menyadarkan dirinya sedang tidak salah dengar sebelum kedua maniknya beralih memindai seluruh penjuru kafe dan menemukan Ara tengah memasang wajah serius dan lelah saat berbicara dengan seorang laki-laki dihadapannya.

"Oh, udah baikan mereka?"

"Lah, emang abis berantem? Kok lo bisa tau, Bang?"

Gerak tangan Langit yang sedang mempersiapkan gelas tiba-tiba terhenti saat menyadari seberapa jauh ia sudah terjun pada hidup orang asing yang baru tiga kali dijumpainya.

OrbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang