Movie Theater

61 4 25
                                    

"It's like in that moment the whole universe existed just to bring us together." - Serendipity
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Apa yang kau sembunyikan di sana?"

Aku melihat bocah laki-laki kurus-sedikit tinggi berdiri mencurigakan dari samping rumahku. Dia terlihat mengendap-endap sembari memasukkan sesuatu ke dalam tanah yang ada di dalam pot di depan rumahnya. Saat dia berbalik, bocah itu kabur dan masuk ke dalam rumahnya. Ibuku bilang dia tetangga baruku yang datang dari Amerika. Kami seumuran tapi bocah itu lebih mudah 5 bulan dariku.

Awalnya aku kira dia tidak bisa berbicara dengan bahasa korea karena selalu mendengarnya mengatakan sesuatu dalam bahasa inggris. Tapi setelah 3 minggu, kami menjadi dekat dan pelafalan bahasa korean-nya benar-benar seperti orang Seoul asli.

"Aku akan melindungimu walaupun aku lebih muda 5 bulan darimu." Ucapannya terbukti ketika dia membantuku menyingkirkan beberapa pria tua hidung belang yang mengangguku saat pulang dari bar. Sekarang usia pertemanan kami sudah hampir 14 tahun terhitung dari hari pertama kami bertemu di umur 11 tahun.

Nama korea-nya Hong Jisoo. Nama Western-nya Joshua Hong. Aku lebih suka memanggilnya Josh atau Jisoo. Kami tumbuh bersama, bertengkar, bermain, tertawa, dan juga menangis bersama.

Joshua benar-benar berubah menjadi pria yang tampan dan keren. Dia juga jadi lebih tinggi dariku. Sikapnya berubah drastis dari awal kami bertemu. Dulu dia hanya bocah Amerika yang datang dan menjadi tentanggaku. Tapi sekarang, dia sangat pengertian, lucu, dan manis. Manner-nya juga luar biasa.

Dia sering sekali mempersilakanku untuk masuk lebih dulu ke dalam ruangan sambil membuka dan menahan pintu untukku, "Ladies first." Katanya. Joshua suka sekali memotong donkatsu milikku, membukakan kaleng soda, dan mengantarkanku pulang.

Singkat cerita, kami tumbuh di sekolah yang berbeda. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk saling bertemu dan meluangkan waktu sekadar mengobrol atau bermain bersama. Dia memiliki energi yang luar biasa saat bermain. Joshua juga lebih memilih pergi membaca buku denganku daripada dengan pacarnya waktu itu. Ini terdengar klasik, seperti cerita remaja-teenlit romance pada umumnya.

Tapi yang membedakan, Joshua adalah peran utama dalam cerita hidupku.

Joshua juga selalu menyinggung perbedaan umur kami yang hanya berjarak 5 bulan. Dia suka memanfaatkan hal itu agar dia lebih disayang olehku. Tapi hari itu tiba-tiba dia berkata seperti ini, "Aku tahu aku sedikit lebih muda. Tapi biarkan aku menjadi oppa-mu saat kau sedang dalam kesulitan." Perkataannya benar-benar menenangkan. Setidaknya aku bisa menganggapnya pria yang bisa diandalkan.

Sore itu, Joshua masuk ke kamar ku seperti biasa. Aku tidak terkejut atau marah. Hal ini karena sudah terbiasa bagi kami. "Aku ingin menjadi produser film." Saat itu, aku menganggap perkataannya sebagai candaan. Aku hanya tertawa dan dia menatapku datar. "Jadilah penulis untuk filmku. Aku bisa menjadi produser dan sutradara sekaligus. Jadi yang perlu kau lakukan hanyalah membuat naskah keren untuk filmku suatu hari nanti."

Aku ingat sekali ucapan Joshua sampai sekarang. Bahkan untuk beberapa kali, Joshua mengatakan itu dengan penegasan yang meyakinkan agar aku percaya. Aku percaya pada kemampuannya, tapi saat itu kami masih belum lulus sekolah menengah atas. Sedikit tidak masuk akal dengan mimpi sebesar itu.

Beberapa bulan setelah hari itu, kami ada di universitas yang sama. Kami tidak langsung bergegas pulang karena kami pikir di usia 22 tahun merupakan hal yang wajar bagi pemuda untuk pulang larut malam. Aku dan Joshua pergi ke ruang musik dan ia memainkan gitar sambil bersenandung. Setelah berhenti dia menatapku. Jantungku sempat bedebar kencang. Tapi yang menyebalkan, Joshua justru membuat aegyo-mengejek ekspresiku lalu tertawa puas.

Happy Ending Series | SeventeenWhere stories live. Discover now