Ladder Game

18 2 0
                                    

“Home isn’t a place, its a feeling”Cecelia Ahern, Love, Rosie

Kami belum menikah, tapi kami tinggal bersama di sebuah apartemen kecil di kawasan Suwon, berkamar satu dan luasnya cukup untuk kami berdua.

Awalnya, ayahku ingin memberikan beberapa villa miliknya yang ada di Gangnam untuk kami tinggali, tapi Jihoon menolaknya dan ingin menyewa sebuah apartemen.

"Ini masih layak untuk ditinggali putri tunggal kesayangan DF Entertainment," ujar Jihoon di depanku dan ayah saat makan malam bersama. Kalimatnya membuatku tidak nyaman dan itu jelas menyinggungku.

Setelah itu, kami masih baik-baik saja dan masih tinggal bersama sampai sekarang. Jihoon memang punya karakter yang bisa dibilang memang tipe idealku kala SMA dulu. Dia pekerja keras dan disiplin. Hanya saja, dia kurang bisa memahami sekitar saat sudah fokus pada apa yang dia kerjakan. Terkadang, Jihoon juga blak-blak-an seperti kejadian tempo hari.

Sudah 5 tahun kami menjalin hubungan, setiap hari terasa sama. Tidak ada yang berbeda.

Kami menjalani hari-hari seperti pasangan biasa. Pagi hari, Jihoon selalu bangun setidaknya pukul 9 pagi setelah begadang sampai jam 5 pagi. Tidurnya tidak banyak mengingat pekerjaan yang dia lakukan selalu berpaku pada deadline. Setiap pagi sebelum aku berangkat, aku selalu membuatkan beef toast atau sandwich tuna kesukaannya. Malam hari juga hanya bertemu setidaknya 3-4 jam. Itu pun jika Jihoon tidak dalam mode sibuknya. Akhir pekan kami tidak menghabiskan waktu di taman ataupun menonton film karena Jihoon akan menginap di studio musiknya.

Tidak ada hal khusus yang kami lakukan bersama. Pagi setelahnya kami akan pergi melakukan kegiatan masing-masing. Aku bekerja sebagai manager perencanan di sebuah perusahaan game di Incheon. Jarak yang jauh membuatku harus bangun pagi demi mengejar kereta di jam pertama alih-alih memakai mobil pribadiku. Jihoon juga sesekali pernah menawariku mengantar-jemput setiap 5 hari dalam seminggu, tapi aku menolaknya karena pekerjaannya juga melelahkan.

Lima tahun melakukan hal yang berulang secara terus menerus membuatku bosan. Setidaknya aku ingin seperti pasangan lain. Di mana ada hari khusus yang dirayakan berdua, berlibur dan menginap di hotel, ataupun membeli jajanan di pinggir jalan. Namun, Jihoon sama sekali tidak pernah menyinggung tentang hari jadi kami. Memang tidak terlalu penting, tapi setidaknya aku ingin ada momen yang bisa diingat setiap tahun bagi kami berdua.

Rencana liburan juga beberapa kali batal karena jadwal Jihoon yang mendadak dan terkadang bentrok dengan jadwalku. Swiss dan Kanada adalah tempat tujuan berlibur kami 2 tahun yang lalu dan itu batal di bulan Desember karena Jihoon tiba-tiba demam.

Tapi, aku tidak pernah menganggapnya serius sampai hari ini. Sudah 3 hari aku merasa sedikit bosan dengan hubungan yang jarang dan bahkan tanpa komunikasi yang lancar. Tidak ada percakapan yang mendetail seperti dulu. Percakapan yang hanya bisa dimengerti satu sama lain tapi itu tidak bisa diulang lagi sejak Jihoon semakin sibul dan memindahkan studionya ke tempat yang baru.

"Mau pesan piza nanas?" tawarnya padaku. "Aku tidak suka piza nanas, kau tahu betul itu," jawabku tenang dan dia hanya mengangguk.

Aku menambahkan, "Kau yang menyukainya. Aku lebih suka makan pinggirannya," Aku merasa kecewa karena Jihoon melupakan hal sekecil ini selama 5 tahun tinggal bersama. "Begitukah? Maaf, aku tidak fokus seharian ini," ucapnya sambil mengusap pelipisnya. "Jjajjangmyeon??" tawarnya lagi dan aku hanya menggeleng pelan.

Tinggal bersama mungkin akan terdengar luar biasa. Namun, aku menganggap hal ini biasa saja. Sudah 5 tahun dan seharusnya aku tidak seperti ini. Tapi rasanya sulit untuk membuat produser nasional kebanggan korea itu mengerti tentang hatiku. Dia hanya tahu musik dan sangat mencintai pekerjaanya daripada aku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Happy Ending Series | SeventeenWhere stories live. Discover now