Friday Night

40 2 34
                                    

"I love you without knowing how, why, or even from where." - Patch Adams

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Hwang Minsung pria yang baik. Ayah sudah mengenalnya." Puji ayahku sambil menyentuh bahu pria yang disanjungnya. "Minsung juga sangat romantis. Aku rasa tidak ada alasan lain untuk tidak menikah dengannya."

Demi tuhan, bagaimana bisa ayah mendeskripsikan pria keras kepala dan tidak tahu diri sebagai pria yang romantis? Benar-benar aneh. Minsung jauh dari kata romantis dan baik hati.

Semuanya membuatku muak. Sudah hampir 5 kali, ayah mengatakan kalimat yang sama selama hampir 30 menit. Di ruangan ini rasanya sesak. Duduk berhadapan di meja panjang dengan pria pilihan ayah. Sementara ayah yang duduk di sisi paling ujung sibuk memuji pria idamannya.

Terlebih lagi saat melihat Minsung yang tersenyum puas saat ayah memujinya berlebihan. "Kalian bisa berlibur ke manapun setelah menikah."

Entah kenapa ucapan ayah malah membuatku mendadak ingin membanting meja yang dipenuhi hidangan mahal jutaaan won dan sangat ingin melemparnya tepat di wajah Minsung. Setelah membuat keribuatan tempo hari, ternyata ayah masih bisa mempercayainya. Bahkan, hingga detik ini, ayah akan terus percaya pada pria busuk itu daripada putrinya sendiri.

"Aku bisa membuatkan souffle pancake kesukaanmu." Pria tengik ini lagi-lagi tersenyum ke arahku. Aku hanya membalas senyum singkat dibuat-buat. "Aku permisi." Kataku sambil mendorong kursi dengan bokongku dan berdiri penuh percaya diri.

"Kita masih makan. Di mana manner-mu?" Nada suara ayah terdengar biasa saja, tapi itu benar-benar mengusikku. "Manner? Aku tidak punya. Nikmati makan malamnya bersama pria idaman ayah."

Sebelum benar-benar berbalik, aku menatap pria yang duduk di depanku. "Kau tahu, kan? Aku tidak bisa makan bersama orang yang aku benci. Itu membuatku sakit perut." Mendengar ucapanku, Minsung hanya berdecak.

Setelah mengambil tas dan pergi keluar, aku masih sempat mendengar suara ayah yang memanggil namaku berkali-kali dari luar. Aku juga mendengar suara kaca yang terlempar. Sepertinya ayah melempar gelas lagi dari dalam.

Tapi sepertinya tidak hanya itu, ayah menyuruh Minsung untuk mengejarku sampai di depan lift. "Aku membuatmu marah? Kau bisa beri tahu kekuranganku." Ucapnya memohon bahkan setelah pintu lift-nya terbuka, Minsung tidak mau pergi.

"Banyak sekali. Kau perlu belajar mengencani wanita. Baca juga buku romansa di perpustakaan." Wajahnya kian melemah dan terlihat mengalah. Aku juga jadi sedikit kehilangan ide akan melakukan apalagi di depannya. Pria yang berdiri seorang diri di dalam lift langsung tertangkap di dalam otakku.

Seketika skenario kecil muncul begitu saja. "Oppa!" Seruanku membuat Minsung dan pria di dalam lift sama-sama terkejutnya. Bahkan aku juga malu karena melakukan ini. Singkatnya, aku berhasil mengusir Minsung dan bilang kalau pria yang sekarang satu lift denganku ini adalah kekasih baruku.

Rasanya jadi canggung karena mengaku-ngaku menjadi pacar dari orang asing. "Lantai berapa?" Begitu dia bicara, otakku mendadak menjadi beku.

Selama kurang dari 1 menit, aku dan pria ini sama-sama keluar dari lantai yang sama. Dia memang berjalan di depanku tapi aku menahan langkahnya. "Mau kemana?" Tanyaku tiba-tiba dan wajahnya terlihat tidak suka.

Happy Ending Series | SeventeenWhere stories live. Discover now