Seine River

51 3 25
                                    

"They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true.” - Edward Bloom

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bunyi 'tring' di ponselku membuatku merasa cemas. Rasanya sedikit gugup daripada menerima telepon tagihan pinjaman dari bank. Terdapat notifikasi berhasil dari aplikasi airport yang baru aku unduh beberapa menit yang lalu dan itu membuatku panik.

Sepertinya aku sudah hilang akal. Kenapa aku harus mengiyakan permintaannya. Memesan tiket secara online lewat aplikasi untuk pergi ke Paris. Sebenarnya ini tidak pernah aku rencanakan sejak malam itu. Aku jelas menolaknya. Tiga bulan yang lalu di kapal pesiar masih seperti debaran yang luar biasa. Rasanya sama, hatiku masih terombang-ambing di atas kapal megah di laut China.

Koperku hanya ada 3 stel pakaian musim dingin, sepatu flat coklat, uang pecahan 100 euro 5 lembar dan 50 euro 2 lembar yang baru aku tukarkan tadi di bank. Aku rasa ini cukup untuk memesan kamar selama 3 hari 2 malam di sana. Tanpa berpikir panjang aku menaiki taxi menuju bandara. Penerbanganku masih tersisa 30 menit dari sekarang. Yang aku lakukan hanya duduk di samping koperku dan dengan tampang paling bodoh memandangi e-ticket di ponselku.

Sampai sekarang aku seperti terhipnotis dengan benda ini. Tapi aku jadi lebih cemas saat memikirkan uang tunai yang kubawa. Alih-alih sengaja tidak membawa kartu kredit karena 3 hari dan langsung pulang. Mendadak merasa takut tidak cukup dan malah tidak pernah bisa kembali ke Seoul dan menjadi gelandangan di negeri orang.

Ini masih musim libur dan mendekati natal. Pasti akan susah mendapatkan kamar hotel di sana. Tanganku berkeringat dan menarik keluar kertas kecil yang kuselipkan di dalam saku jaket kulitku. Kertas yang pernah Myungho berikan 3 bulan yang lalu. Alamat apartemennya di Paris, dekat sungai Seine—menara Eiffel. Entah kenapa aku masih saja ragu tapi tetap memutuskan untuk pergi.

Selama 12 jam penerbangan, aku sampai. Sekarang jam 8 malam dan hanya berbekal maps di ponselku, aku berhasil menemukan bangunan apartemennya. Perlu menaiki lift 23 lantai untuk sampai di depan kamarnya. Seharusnya aku mencari tempat untuk menginap malam ini dan baru menemuinya besok pagi, tapi aku malah terbawa ke tempat ini karena dekat dari bandara.

Kamar dengan pintu bernomor 220. Sangat berbeda dengan apartemen miliknya yang ada di Seoul. Miliknya yang sekarang lebih mewah dan terkesan futuristik daripada apartemen studio-nya yang ada di kawasan Yeouido. Dulu, kami sering menghabiskan waktu untuk pergi ke Namsan hanya sekadar menginap satu malam sambil melihat lampu N Seoul Tower dari balkon kamar hotel.

Saat belnya kutekan, jantungku seperti minta keluar. Aku terlalu gugup dan cemas. Sekarang saja aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang terheran dengan kedatanganku yang jelas sudah menolak permintaannya 3 bulan yang lalu. Belnya kutekan untuk yang kedua kalinya. Jantungku benar-benar seperti hampir terjun ke lambung.

Saat memutuskan untuk berbalik, pintunya terbuka. Myungho berdiri di ambang pintu. Penampilannya membuatku menelan ludah dan mengalihkan pandanganku ke sandal selop biru dongker miliknya. Dia hanya memakai bathrobe dan tangan kanannya memegang handuk kecil. Kenapa aku merasa postur badannya jadi jauh lebih tinggi dari terakhir bertemu.

Canggung.

Bagaimanapun juga, 3 bulan waktu yang cukup lama. Bertemu dengan mantan pacar seperti ini jelas sangat memalukan. Dulu aku selalu memanggilnya dengan nama Korea-nya, tapi sekarang 'Minghao' dan berhadapan seperti ini untuk menyapa pasti akan memalukan. Jika bisa memutar waktu, aku akan lebih memilih melakukan busking di Hongdae daripada bertatapan seperti ini.

Happy Ending Series | SeventeenWhere stories live. Discover now