Bab 3 : Meet You Again

323 70 0
                                    



Recommended Song :
Taylor Swift — London Boy






"We are fate."












“Mama antar, ya?” Cindy muncul dari dalam kamar sambil membawa kunci mobil. Windy yang sedang memakai sepatu lantas menoleh.

“Vio naik bus saja. Lebih baik Mama istirahat. Vio tahu lemah jantung Mama kambuh semalam.” Windy tersenyum tipis. Pertengkarannya dengan Cindy tempo hari masih membekas dan membuat Windy menjawab ala kadarnya saat bicara.

“Hati-hati. Kalau keluar pakai masker. Jangan sering keluar juga kalau tidak penting.” Cindy mendekat dan memberikan sekotak masker sebagai persediaan.

“I know, Mom. Thank you.” Windy memasukkan sekotak masker itu ke dalam tas ranselnya. Cindy menatap penampilannya anaknya dari atas hingga bawah.

“Kenapa memakai almamater sekolah?” tanya Cindy bingung. Mengingat anaknya itu seperti kemusuhan dengan sekolahnya sendiri.

“Ah, ini…” kalimatnya terhenti karena ia ingat seseorang. Windy hanya bisa tersenyum tipis. “Lagi pengen pakai aja.”

“Kenapa gak pakai jaket atau hoodie yang lebih hangat?”

“Yang ini aja. Lebih simple. Udah ya, Vio berangkat dulu. Take care, Mom! Vio akan balik dua minggu lagi.” setelah menyalami sang Ibu, Windy melambaikan tangannya dan berjalan keluar rumah. Mungkin butuh waktu 10 menit berjalan kaki dari area perumahannya menuju halte. Windy duduk disana sembari menunggu bus yang datang. Diliriknya sekilas arloji yang ia pakai

Pukul 7, masih pagi.

Saat menunggu bus, pikiran Windy tiba-tiba tertuju ke Nakula. Hari ini ia akan pelatnas. Apa bisa ia bertemu Nakula lagi? Tapi sayangnya, Windy tidak tahu Nakula tinggal dimana. Mendadak hatinya gusar.

“Apa benar kita akan ketemu lagi?” monolognya. Ia menatap ke sekeliling dimana suasana jalan cukup sepi. Mungkin karena corona, jadinya banyak yang libur. Kendaraan pun hanya beberapa yang lewat. Dibalik maskernya, Windy menggigit bibir. Merasa resah dan ia juga tidak tahu kenapa jadi gelisah begini.

“Ketemu lagi itu kapan?” Windy kembali fokus ke arlojinya. Ia harus sampai di pelatnas pukul 10. Dan perjalanannya menggunakan bus membutuhkan waktu 1 setengah jam jam. Masih ada waktu 1 jam lebih, kan? Tanpa memikirkan apapun lagi, Windy berdiri dan berlari menjauhi halte. Padahal bus nya sudah sampai tapi ia tidak peduli. Ia terus berlari menuju taman. Tempat pertemuan pertama kemarin lusa. Meski kesulitan karena ia berlari sambil membawa tas raket, Windy tidak peduli. Kurang lebih ia berlari selama 30 menit, akhirnya ia sampai di taman. Sepi juga dan matanya langsung mengedar ke seluruh penjuru.

Tidak ada Nakula.

“Inikah yang dinamakan takdir?” sentak Windy kesal. Nafasnya terengah-engah dan dahinya mulai basah karena keringat. Ia sudah terbiasa berlari tapi tetap saja melelahkan berlari selama 30 menit nonstop.

Please, gue pengen ketemu lo sekali aja sebelum pergi. Tuhan, gue percaya takdir yang engkau buat. Jadi, aku mohon… biarkan aku bertemu dengannya kali ini,” ucap Windy dalam hati. Mencoba mempercayai kalau takdir itu ada dan ia percaya kalau Nakula akan menemuinya. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri meksipun ia merasa lelah dan frustasi.

Saat matanya menatap sekolah di seberang jalan, Windy tanpa berpikir panjang langsung berlari kesana. Ia kembali celingak-celinguk ke sekeliling dan sosok yang ia cari tidak ada. Windy hampir putus asa. Sedangkan waktu terus berjalan.

When Windy Falls In Love Where stories live. Discover now