47

775 80 8
                                    

Happy Reading❤

Menjelang hari tampil, Alana dan teman-temannya semakin meningkatkan intensitas latihan agar penampilan mereka semakin matang dan tak menimbulkan kesalahan apapun kedepannya. Jujur saja, gadis itu merasa kelelahan, Raga telah pergi melanjutkan pendidikannya. Sedangkan ibunya masih mengurusi ayahnya yang sejak beberapa hari lalu sudah sadarkan diri. Ia juga disibukkan mencari keberadaan istri kedua ayahnya. Ia sangat ingin menjebloskan wanita itu ke sel tahanan setelah apa yang wanita itu lakukan pada keluarganya.

Alana kini tengah berjalan sendiri di jalanan yang sepi, di malam hari. Arjuna memiliki urusan yang sangat mendesak sehingga menurunkannya di gang depan rumahnya. Sepi. Hanya langkah kakinya yang terdengar. Hingga langkah kaki lain mulai terdengar oleh rungunya. Was-was. Ia mengambil ponsel, mencoba melihat keberadaan sosok yang berjalan beberapa meter di belakangnya. Buram. Yang terlihat hanyalah sosok hitam yang berjalan semakin cepat ke arahnya.

Ketakutan melandanya, ia berlari sekencang mungkin. Menghindari jangkauan tangan orang itu yang akan meraih ujung ranselnya. Teriakan minta tolong ia keluarkan, berharap agar para warga terbangun dan menolongnya saat ini juga.

Mendengar teriakannya, orang itu berhenti mengejarnya. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari keberadaan para warga. Dari ujung jalan depan terlihat cahaya lampu senter yang mengarah ke arah keduanya. Alana berlari semakin kencang menuju cahaya itu.

"Neng, neng baik-baik aja?"

"Iya pak, terima kasih sudah membantu saya."

"Sama-sama neng, saya sama bapak-bapak lain kebetulan memang lagi ngeronda di pos sebelah sana, eh denger suara minta tolong." Sahut bapak-bapak yang lainnya.

Alana yang masih terengah, hanya tersenyum sembari mengedarkan pandangannya mencari orang itu. Mengetahui gelagatnya, bapak-bapak yang lain berkata, "Udah pergi neng orangnya, lain kali kalau pulang malem jangan lewat gang yang sebelah sana, sepi banget soalnya."

"Terima kasih ya pak, sebelumnya. Saya nggak tahu bakal jadi apa kalau bapak-bapak enggak datang."

"Iya neng, mari kita antar pulang."

.
.

Arjuna tidak menguhubunginya beberapa hari ini. Tidak ia temukan pula di tempat latihan. Begitu pula di rumahnya. Berkali-kali Alana mencari lelaki itu, ingin menceritakan segala keluh kesah juga teror yang mengikutinya beberapa hari ini. Ya, teror. Sejak pengejaran malam itu, teror tak berhenti. Ada kiriman boneka berdarah, lemparan batu yang membuat kaca jendela kamarnya pecah, belum lagi setiap pulang sekolah ada saja yang menguntitnya.

Tak pernah ia ceritakan teror itu ke sahabat, maupun ke ibunya. Ia tak ingin menambah beban mereka, sungguh. Terlebih lagi, beberapa hari pentas akhir tahun akan dilaksanakan. Ia hanya bisa memforsir tenaga dan pikiran untuk pentas tersebut.

Rintihan tangis terdengar memilukan di kamar berukuran 3x4 meter itu. Alana tak bisa lagi menyembunyikan semua yang ia rasakan. Ia merasa beban yang ada di pundaknya sangat berat. Padahal ia tahu, ia tak pernah merasa terbebani dengan apa yang ia lakoni selama ini. Air matanya mengalir begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Terisak dengan rasa sesak menerpa pernafasan. Ia menepuk dadanya, sembari berdoa agar segala rasa sakit dan kegundahan yang menerpanya menghilang. Alana hanya membutuhkan pelukan orang lain saat ini. Tolong. Ia seperti tenggelam di lautan terdalam. Gelap. Ia kehilangan kesadarannya. Dengan nafas yang masih terengah-engah, sesak, badan bergetar sesenggukan. Yang terakhir menyapa indra pengelihatannya adalah Jimmy.

Amreta Tisna  [END]Where stories live. Discover now