Pertama: Larangan

1.2K 166 44
                                    

"Sudah berapa kali Ayah bilang untuk tidak menyentuh piano, Gi?"

Si remaja menunduk. Menyembunyikan wajah dengan bantuan rambut hitam legamnya. Ia menggigit bibir. "Maaf," lirihnya.

Sang Ayah menghela napas kasar. Lelaki itu diam, membuat rasa canggung semakin menjadi di antara keduanya.

"Mulai besok, kau tidak perlu lagi berangkat sekolah," itu keputusannya setelah menimang sejenak. Setelah berucap, si lelaki memalingkan wajah, sengaja menghindari tatapan terkejut dari manik cokelat gelap sang putra.

"Apa? Tapi, A-ayah ... "

"Ayah tidak pernah melarangmu untuk melihat. Hanya tidak menyentuhnya. Itu saja. Tapi, kau menyentuhnya, memainkan alat musik itu bukan hanya sekali. Kau melanggar larangan Ayah berulang kali, Gi."

Terdiam. Min Yoongi semakin menunduk. Ia tertangkap basah. Rupanya sang ayah tahu perihal dirinya yang diam-diam kerap memainkan piano di ruang musik sekolahnya ketika jam istirahat berlangsung.

"Tapi, tidak perlu sampai seperti ini, Ayah," si remaja berucap lirih. Memohon agar sang Ayah menarik kembali keputusannya. Bagaimanapun juga itu berlebihan, menurutnya. "Yoongi tidak akan menyentuhnya lagi. Tidak akan lagi," anak itu melanjutkan.

Namun, ucapannya hanya dianggap angin lalu, karena sang Ayah terlebih dahulu pergi tanpa menoleh. Memberi jawaban telak yang berupa penolakan bagi permohonannya.

Hilang sudah satu kesempatan baginya untuk menyentuh alat musik pujaannya.

***

Namanya Min Yoongi, remaja tiga belas tahun yang seharusnya berada di tingkat awal Sekolah Menengah Pertama. Namun, sejak ayahnya mengutarakan keputusan sepihak, kesibukannya di sekolah terhenti. Digantikan dengan homeschooling yang membosankan.

Bosan karena kesehariannya menjadi monoton dan bosan karena ia tidak lagi bisa memainkan piano secara sembunyi-sembunyi.

Jujur saja, di sekolah, Yoongi kerap kali melanggar larangan sang ayah untuk tidak menyentuh piano. Remaja itu kerap kali pergi ke ruang musik ketika jam istirahat kedua berbunyi, untuk memainkan si alat musik berdawai baja yang akan selalu menjadi favoritnya.

Tapi, entah bagaimana ceritanya sang ayah bisa tahu dan berakhir dengan menghukumnya seperti sekarang ini. Ia dijauhkan dari satu-satunya tempat yang bisa memuaskan dirinya. Tempat yang bisa membuatnya merasa bebas, lepas dari peraturan menyebalkan dari sang ayah.

Ia beralih, menatap piano klasik yang ada di sudut ruangan. Hanya menatap, karena tidak diperbolehkan untuk menyentuh. Benda itu hanya dijadikan sebagai pajangan, sama sekali tidak tersentuh. Bahkan, debu menyelimuti warna cokelatnya kayu. Membuat si piano nampak usang dan kumal.

Alat musik dengan tuts hitam-putih yang diletakkan di sudut ruang keluarga itu selalu mampu menarik perhatiannya. Membuainya dengan warna cokelat kayu yang teduh, sekaligus membuatnya berandai tentang bunyi nyaring nan indahnya, ketika satu-persatu tutsnya ditekan.

Sedetik ia tersenyum dan setelahnya hilang, mengingat, adalah perihal yang sulit bagi dirinya untuk memainkan atau bahkan menyentuh alat musik pertamanya. Piano yang terasa seperti harapan juga nampak seperti sumber putus asa, sebab larangan tak kasat mata dari sang ayah selalu ada. Menghalangi dirinya untuk menyentuh si piano cokelat.

Napasnya diembus panjang. Ada dilema besar dalam hatinya. Di satu sisi, ibu meminta dirinya untuk menjaga kecintaan pada musik, terlebih pada piano.

Namun, di sisi lain, sang ayah seakan menjauhkannya dari piano. Mendorongnya agar tidak mendekat dan berusaha menghapus piano dari dirinya.



To Be Continue

Halooo, apa kabar?

Ini cerita baru publish yang sebenernya udah ngekos di draft lamaaa banget. Jadi, maaf kalau mungkin ada kalimat yang kerasa aneh dan nggak nyambung waktu dibaca

Oh, ya. Makasih banyak buat yang udah luangin waktu dengan baca & pencet bintang ෆ╹ .̮ ╹ෆ

Piano: Happiness & Sadness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang