Kelima: Ucapkan Selamat Tinggal

500 124 30
                                    

Yoongi dapat mendengar gemuruh tepuk tangan tepat setelah permainan pianonya selesai. Anak itu mengulum bibir--malu--ketika mendapati cukup banyak orang yang datang untuk melihat dan mendengar permainan pianonya.

"Kau bermain dengan hebat," si lelaki memujinya. 

Yoongi menggeleng kecil. "Komposisi musiknya sendiri sudah luar biasa. Permainanku tidak mengubah banyak," ia berucap, "Aku juga melakukan banyak kesalahan. Temponya sedikit terlalu cepat di pertengahan," lanjutnya sembari tertawa malu.

Si lelaki tersenyum. "Itu tadi aransemenmu sendiri?" tanyanya, dan ia dibuat terperangah ketika anak di depannya mengangguk tersipu.

"Oh--astaga," Yoongi meringis, "maaf, tapi aku harus pergi sekarang." Anak itu mendadak menjadi tidak enak hati ketika mengingat bagaimana pamitnya kepada Kak Namjoon beberapa waktu lalu.

Ia berkata hanya akan membeli air minum dan segera kembali, tetapi dirinya justru berdiam diri di tempat ini. Memperhatikan lelaki yang tidak dikenalnya memainkan piano hingga penghujung musik, lalu tanpa terduga, dirinya mendapat tawaran untuk menunjukkan permainan pianonya.

"Oh, ya? Kalau begitu pergilah. Kuharap kita bisa bertemu di lain kesempatan. Aku akan selalu berada di sini setiap hari Minggu. Kau bisa datang kemari dan menunjukkan kepadaku permainan hebatmu lagi," si lelaki berucap dengan senyum ramahnya.

Yoongi mengangguk. "Tentu. Terima kasih untuk tawaran Anda dan, yah ... mari bertemu di lain kesempatan," balasnya. Anak itu mengambil botol airnya yang telah ia letakkan di sudut piano sejak beberapa saat lalu, lalu segera kembali ke gedung tempat pameran seni diadakan. Anak itu meneguk ludahnya dengan susah-payah. Yoongi berharap Kak Namjoon masih asyik menikmati karya seni dan tidak menunggunya.

***

Nyatanya, Yoongi merasa bersalah ketika melihat Kak Namjoon yang duduk sendirian di sebuah bangku panjang. Lelaki yang lebih tua tersenyum cerah ketika melihat dirinya kembali dengan sebotol air--hal yang membuatnya semakin merasa bersalah.

"Maaf karena membuat Kakak menunggu. Yoongi berjalan-jalan sebentar tadi," katanya penuh sesal. Namjoon tersenyum kecil.

"Tidak apa," balasnya. "Sekarang, mari kita pulang? Kupikir aku sudah cukup puas dengan pameran hari ini," Namjoon berucap.

Yoongi mengangguk setuju. Ia pun merasa puas dengan hari ini. Bukan hanya cukup. Sangat puas malahan.

***

Yoongi melangkah memasuki rumah dengan senyum tipisnya, setelah sebelumnya ia berterima kasih kepada Kak Namjoon yang telah mengantarnya pulang. Anak itu terdiam sejenak ketika mendapati mobil sang ayah yang sudah terparkir di garasi.

HmTidak biasanya ayahnya pulang seawal ini. Ayahnya adalah seorang pekerja kantor yang akan berangkat pukul delapan pagi dan pulang ke rumah pukul lima sore. Itu adalah siklus kerja sang ayah yang sudah Yoongi hafal bertahun-tahun lamanya.

Dan ayahnya pulang lebih awal? Wah, itu hal yang cukup mengejutkan baginya.

Anak itu menggeleng, memilih untuk abai, dan segera masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi, Yoongi terdiam sejenak ketika menyadari bahwa ruangan ini--ruang tengah--terlihat kosong. Terasa luas sekaligus hampa dengan keabsenan piano cokelat di sudut ruangan.

Piano. Piano--tunggu. Piano?

Ke mana perginya piano cokelat kesayangannya?

Sepasang manik cokelat gelapnya berpendar resah. Ditambah ketika indra penciumnya mencium bau khas terbakar dan kedua manik cokelat gelapnya menangkap gumpalan asap gelap yang berasal dari halaman belakang.

Anak itu berlari untuk memeriksa apa yang terjadi di halaman rumah dan di sanalah sang ayah berada. Berdiri dengan sebuah korek api di tangan kanannya dan balok kayu di tangan kirinya. Di hadapan sang ayah, di situlah Yoongi menemukan piano cokelat kesayangannya yang terbakar dan terurai menjadi abu yang berjatuhan di rerumputan.

"Ucapkan selamat tinggal kepada piano cokelat pujaanmu, Yoongi."

Yoongi mematung di tempatnya. Di hadapan piano yang terbakar.

"A-ayah! Kenapa? Kenapa Ayah membakarnya?!" teriaknya, murka. Wajahnya memerah, entah karena marah, sedih, atau keduanya. 

Ditatapnya sang Ayah yang berdiri dengan angkuh. Rahang lelaki paruh baya itu mengeras, ia juga tidak kalah murka, yang kemarahannya dilampiaskan pada piano cokelat yang malang.

"Karena kau melanggar larangan Ayah lagi," si lelaki berucap. Intonasinya perlahan naik dengan tiap kata yang diucap penuh penekanan. "Karena kau melanggar laranganku lagi dan lagi!"

"Ayah pikir, dengan memberi luka di jemari tanganmu akan membuatmu paham, bahwa Ayah tidak bercanda dengan larangan yang Ayah buat. Namun, sepertinya kau tidak ingin paham!"

Si lelaki menarik napas panjang. "Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di luar sana," desisnya, lantas pergi dari sana. Meninggalkan sang putra yang masih terdiam di hadapan piano yang terbakar.

Sejenak, sebelum lirihan putranya membuat langkah kakinya terhenti barang sesaat.

"Kenapa, Ayah ... ? Kenapa Ayah harus membakar piano milik ibu? Kenapa tidak menghukumku dengan mematahkan kesepuluh jariku saja--Kenapa?! Kenapa Ayah harus membakar benda peninggalan ibu untukku?!"



To be Continue

Piano: Happiness & Sadness ✔Where stories live. Discover now