Keenam: Putus Asa

501 113 24
                                    

Kim Namjoon menghela napas lirih ketika melihat sang anak ajar yang nampak murung. Ini sudah lima belas menit sejak ia datang dan sepuluh menit sejak ia membacakan materi belajar baru. Namun, Yoongi sama sekali tidak menunjukkan binar semangat belajar seperti biasanya.

"Hei, ada apa?" tanyanya, menyentak Yoongi yang ternyata berada dalam lamunan.

Yang lebih muda menggeleng, lantas terdiam cukup lama. Kedua manik cokelat gelap yang dilingkup oleh kelopak sembap itu menatap Namjoon sendu.

"Maaf, Kak. Bisa beri tugas saja hari ini? Yoongi sedang tidak ingin belajar," lirihnya sembari memainkan ujung bajunya. Ragu, gugup, juga merasa bersalah pada Kak Namjoon yang sudah datang jauh-jauh untuk mengajarinya.

Namjoon terdiam. Kedua alis tajamnya mengernyit, lelaki itu terheran.

"Tiba-tiba?" tanyanya yang dibalas dengan tundukkan kepala dari anak di hadapannya.

Namjoon membuang napas pelan. Lelaki itu mengulum bibirnya sejenak. "Punya sesuatu untuk diceritakan, Yoongi? Kakak bisa mendengarkan," Namjoon berujar sembari menutup buku materi dan merapikannya di sudut meja.

Yoongi masih terdiam dalam tundukan kepalanya, pun Namjoon yang terdiam di tempatnya. Lelaki dua puluh enam tahun itu masih menunggu si anak ajar untuk bercerita. Ia tidak ingin memaksa, tapi Namjoon berharap Yoongi bisa membaginya sedikit cerita tentang harinya dan ia akan mencoba untuk membantu, sebisa mungkin.

Dan lelaki itu terkejut ketika anak di depannya terisak lirih. Yoongi menatapnya dengan sorot yang paling ia benci--putus asa. Sorot yang menghadiahinya tanda tanya besar di tengah kediamannya, tentang apa yang telah terjadi.

"Haruskah aku mencoba yang lain, Kak?" Yoongi melirih, "apa pun itu, selain musik ... dan piano?"

Namjoon tertegun. "Kenapa?" tanyanya.

Yoongi mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. "Karena aku rasa, memang seharusnya aku tidak pernah bermain piano. Memang seharusnya aku tidak pernah mengenal piano," ia berkata. Ucapan yang membuatnya merasa sesak. Karena bagaimanapun juga, piano telah hidup dalam dirinya.

Lelaki dua puluh enam tahun itu menatap iba. "Kenapa?" tanyanya lagi, "bukankah bermain piano adalah hal yang paling kau sukai? Tidakkah menjadi pianis adalah mimpimu?" tanyanya.

Yoongi terdiam sesaat. Cukup terkejut tentang tebakan Kak Namjoon yang sepenuhnya benar. Sementara ia tidak pernah memberitahu, atau bahkan bicara tentang impian lamanya.

"Karena rasanya, aku harus menyerah saja. Ternyata, aku tidak seberani apa yang kupikirkan. Kupikir, aku bisa membantah ayah dan terus bermain piano seperti yang kuinginkan. Namun, rupanya aku salah.

Kemarin aku membantah larangan ayah sekali lagi, dengan memainkan piano jalanan di dekat gedung pameran. Entah dari mana ayah bisa tahu dan itu membuatnya marah. Sore hari kemarin, ayah merusak piano ibu ... dan membakarnya," Yoongi berucap. Anak itu menatap Namjoon yang diam mendengarkan.

"Aku hanya ingin bermain piano. Hanya ingin bermain. Tidak lebih," katanya diakhiri dengan helaan napas getir.

Pianis bukan lagi cita-citanya, karena Yoongi rasa, impian itu sudah terlampau sulit untuk dicapai. Untuk sekarang yang ia inginkan tidak lebih dari sekadar memainkan piano. Akan tetapi, dengan dibakarnya piano peninggalan sang ibu kemarin sore, Yoongi rasa keinginannya untuk bermain piano juga turut dibakar. Terbang bersama kepulan asap hitam yang semakin lama semakin memudar. Meninggalkan rasa perih dan kecewa di sudut hati kecilnya.

Sementara itu, Namjoon terdiam lama. Rupanya, itulah jawaban atas pertanyaannya tentang absensi piano cokelat di sudut ruangan, mata sembap, dan sorot putus asa Yoongi.

***

Ayahnya tidak pernah membenci piano. Dulu, lelaki itu mencintai piano sama besar seperti ia mencintai hidupnya. Namun, semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa sang ibu terjadi, ayahnya menganggap bahwa denting piano adalah sebuah kutukan.

Yoongi sendiri masih delapan tahun di hari di mana kecelakaan itu terjadi. Ibunya, yang merupakan seorang pianis yang cukup terkenal pada saat itu tengah menggelar pertunjukan solonya.

Semuanya berjalan lancar. Kepiawaian sang ibu dalam membawakan lagu-lagu yang dibalut dalam denting piano selalu bisa membuat pendengar seakan tersihir. Begitu juga dengan dirinya yang ternyata, bakat dan kecintaan sang ibu pada piano itu diturunkan padanya.

Dulu, ayahnya tidak pernah membenci piano. Justru lelaki itulah yang paling bersemangat ketika Yoongi memainkan lagu pertamanya ketika ia berusia enam tahun. Ayahnya akan selalu menjadi yang paling bersemangat untuk mengantar dan menjemputnya di tempat les piano.

Setiap hari ketika ia bermain piano bersama ibu, ayah akan menarik kursi untuk duduk di sampingnya untuk mendengar dentingan nyaring yang dibawakan oleh jemari kecilnya. Lalu, ketika satu lagu berakhir, lelaki itu akan selalu menjadi orang yang bertepuk tangan paling keras dan menghujaninya dengan pelukan sayang.

Itu dulu, sebelum kecelakaan terjadi, beberapa saat setelah pertujukan solo ibunya selesai.

Ia dan sang ayah yang baru saja kembali dari toserba dihadapkan pada mobil yang nyaris tak berbentuk di bahu kiri jalan, di mana mobil diparkir beberapa saat lalu. Remuk dihantam oleh sebuah minibus yang dibawa oleh pengemudi mengantuk.

Ibunya dibawa ke rumah sakit, segera setelah ambulans datang. Akan tetapi, nyawanya tidak tertolong. Pihak rumah sakit berkata, ibunya telah meninggal di perjalanan menuju rumah sakit.

Hari itu adalah salah satu hari paling buruk dalam hidupnya dan ayah. Berita tersebar dengan cepat di media manapun. Setelah kremasi ibunya dilaksanakan, banyak wartawan berkerumun di depan rumah abu untuk meminta tanggapan darinya dan sang ayah tentang kematian sang ibu. Hal yang membuat dirinya, terlebih sang ayah merasa tidak nyaman.

Perginya sang ibu sangat tiba-tiba dan rupanya sang ayah belum siap. Lelaki itu sedikit terguncang, hingga menganggap semua yang terjadi di hari itu adalah sebuah kutukan penyebab kematian sang istri. Semua hal yang terjadi di hari itu ia benci. Pertunjukan piano, tepuk tangan meriah, juga sorot kamera.

Hari itu adalah awal mula, di mana sang ayah menerapkan pembatas tebal antara piano dan Yoongi. Ayahnya bukan tidak suka atau membenci piano. Hanya saja, suara denting piano yang dimainkan oleh dirinya selalu ditangkap sang ayah sebagai sebuah melodi kematian. Membuatnya kembali teringat pada pertunjukan piano di hari itu, juga kecelakaan yang membawa pergi istrinya.

Semuanya kembali datang, berebut, meminta untuk diingat kembali dan ayahnya akan merasa lemah. Ingatan tentang apa yang terjadi di hari itu membuat ayahnya tidak bisa mengontrol emosi yang meluap. Ayahnya akan merasa lemah dan lelaki itu benci menjadi lemah.



To be Continue

Piano: Happiness & Sadness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang