Alternate Ending bag. 2: Poster Kontes

205 33 3
                                    

"Yoongi, boleh Kakak bertanya?"

Anak yang semula sedang asyik dengan bunggeopang di tangannya itu menoleh.

"Tentu saja," jawabnya. Seketika ia menomor-dua-kan kue berbentuk ikan di tangannya, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya pada Kak Namjoon, menerka-nerka apa kiranya yang akan ditanyakan lelaki itu kepadanya.

"Boleh Kakak tahu, bagaimana bisa kau ada di toko barang antik itu?" tanya Namjoon dengan hati-hati. Takut menyinggung perasaan dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada yang lebih muda.

Yoongi bergumam singkat. "Kak Namjoon ingat, ketika Kakak mengajakku pergi ke pameran seni?" tanyanya.

Namjoon mengangguk dengan alis bertaut. Apa hubungan toko barang antik itu dengan pameran seni? pikirnya.

"Ketika Yoongi keluar lama untuk membeli minuman, sebenarnya Yoongi melihat permainan piano jalanan yang dimainkan oleh pemilik toko barang antik itu. Kami beberapa kali bertemu, karena Kak Sewoon bilang dia akan berada di tempat itu setiap hari Minggu. Hari ini, sebenarnya aku juga datang untuk menemuinya dan bermain piano, tapi, piano yang biasa digunakan untuk busking rusak, jadi Kak Sewoon mengajakku ke tokonya untuk menunjukkan piano yang kumainkan tadi," jelas Yoongi. Anak itu mengakhiri ucapannya dengan satu gigitan besar pada bunggeopang miliknya.

Namjoon bergumam paham, sambil mulutnya membentuk huruf 'o' kecil.

"Omong-omong, bagaimana sekolahmu?" tanyanya. Mencoba untuk mengganti topik pembicaraan, agar atmosfer di antara keduanya tidak terasa aneh dan canggung.

Memang, beberapa waktu lalu--sejak Tuan Min berubah pikiran, tepatnya--ia tidak lagi menjadi pengajar homeschooling anak di sampingnya dan Namjoon ikut senang akan hal itu. Dirinya turut merasa lega karena anak di sampingnya ini telah lepas dari sangkar buatan sang ayah.

"Di sekolah, hm ... sebenarnya biasa saja." Yoongi mengendikkan bahunya. "Tidak ada hal-hal baru yang menarik juga," imbuhnya.

Namjoon tergelak. "Tidak ada yang menarik, benarkah?" tanyanya.

Yoongi berpikir sejenak. "Sebenarnya, sih ada ... sedikit," jawabnya. Digigitnya bunggeopang sebelum ia melanjutkan ucapannya.

"Yoongi jadi punya teman belajar dan bagian paling bagusnya, Yoongi bisa pergi ke ruang musik untuk bermain piano lagi!" kata anak itu diakhiri dengan tawa kecil. Tawa yang secara spontan mendorong terbentuknya senyum di wajah Namjoon.

***

Yoongi memejamkan mata sejenak, membukanya, lalu menatap tuts hitam-putih di hadapannya. Perlahan ia letakkan jemarinya di atas tuts, lalu menarikannya hingga membentuk dentingan melodi yang menyejukkan telinga.

Di pertengahan musik, Yoongi terpaksa menghentikan permainannya, karena mendengar suara pintu ruang musik yang terbuka. Ia menoleh dan mendapati Pak Lee--guru musik di sekolahnya--masuk dengan selembar kertas di tangannya.

"Sudah kuduga, pasti ada di sini," lelaki paruh baya itu berucap.

Yoongi tersenyum simpul. "Selamat pagi, Pak Lee," sapanya.

Anggukan menjadi balasan dari ucapan sapanya.

"Pagi yang cerah untuk kabar baik yang menggiurkan," lelaki itu membalas sembari tersenyum. Lantas, diulurkannya selembar kertas yang sedari tadi ada dalam genggamannya.

"Ini, bacalah," ujarnya, "saya melihat poster itu di jalan menuju kemari dan setelah membacanya, secara otomatis saya teringat kamu, Yoongi," imbuh lelaki itu.

Yoongi menatap poster itu lama. Sebuah poster di mana'Kompetisi Piano Pelajar' tertulis sebagai judulnya.

"Kompetisi piano?" gumamnya.

Pak Lee mengangguk membenarkan. "Ya dan saya sangat berharap kamu berminat untuk mengikuti kompetisi itu. Saya rasa kompetisi itu adalah momentum yang tepat di mana kamu bisa mengasah kelihaian jemarimu dan menunjukkan kemahiranmu di hadapan banyak orang. Kau punya permainan piano yang indah, Yoongi dan Bapak rasa tidak ada salahnya untuk ikut serta dalam kompetisi," ujarnya.

Lelaki itu tahu betul kalau anak di hadapannya ini punya bakat juga minat yang besar pada piano. Sejak kali pertamanya masuk ke sekolah ini--lebih tepatnya, ketika kali pertama memainkan piano di ruang musik--Yoongi selalu menjadi seorang murid yang tidak lepas dari amatannya.

Ia memandang Yoongi sebagai seorang anak yang punya bakat dalam bermusik, terutama dalam bermain piano. Denting piano yang dimainkan oleh jemari anak itu selalu berhasil membuat dirinya kagum. Membuatnya berpikir bahwa anak di hadapannya ini tidak lama lagi akan menjadi seorang pianis hebat, jika keahliannya terus diasah.

Maka dari itu, ia sangat berharap Yoongi bisa mengikuti kompetisi piano yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Hitung-hitung untuk unjuk diri dan kemahiran, juga mengembangkan namanya sebagai salah satu pianis muda berbakat.

Yoongi terdiam lama. Ditatapnya poster itu dengan binar pada kedua matanya. Sejenak ia memikirkan ucapan Pak Lee yang tidak ada salahnya. Anak itu menarik napas panjang. Kali ini, ia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya, dengan ikut serta dalam kompetisi ini.

"Jadi ... bagaimana? Apa kau tertarik?" tanya Pak Lee.

Yoongi mengangguk mantap. "Ya," jawabnya.

Pak Lee tersenyum lega. "Baiklah. Ingat kalau pendaftaran lombanya paling lambat empat hari lagi. Kau bisa bawa poster itu. Mintalah izin kepada orangtua dan hubungi saya lagi ketika hendak mendaftar, oke?" pungkas Pak Lee, sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Yoongi yang terdiam di tempatnya berdiri.

Jujur saja, ada rasa takut dan ragu dalam hatinya, tentang bagaimana ia harus memberitahukan hal ini pada sang ayah.

Apa sang ayah akan setuju? Atau hal-hal seperti marahnya sang ayah dan pukulan di jari akan ia rasakan kembali?


To be Continue

Piano: Happiness & Sadness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang