Alternate Ending (end): Denting Terakhir

314 35 54
                                    

Tuan Min, lelaki itu masih menatap poster yang telah berada di tangannya sejak beberapa saat lalu. Total mengabaikan sang putra yang tengah menunggu keputusannya sambil berharap-cemas.

"Jadi ... bagaimana, Ayah? Apa Yoongi boleh ikut?" Yoongi bertanya. Mencoba untuk berucap dengan hati-hati, berjaga-jaga kalau saja sang ayah akan menolak permintaannya dengan tegas.

Lelaki paruh baya itu menatap sang putra cukup lama, lantas menghela napas lirih.

"Ya," jawabnya. "Ayah tidak akan melarangmu," lelaki itu melanjutkan ucapannya.

Min Yoongi, remaja itu bersorak senang. Tersenyum lebar, lantas menghambur untuk memeluk sang ayah.

"Terima kasih. Terima kasih banyak, Ayah," bisiknya yang dibalas sang ayah dengan anggukan kecil.

Walaupun ada bimbang dalam hatinya untuk menyetujui permintaan sang putra, lelaki itu sepenuhnya sadar bahwa ia tidak lagi bisa mengekang keinginan putranya. Tuan Min tidak ingin mengulangi kesalahan, di mana ia bertakhta di atas ego yang--disadari atau tidak--telah membakar mimpi putranya secara perlahan.

***

Lelaki itu menghela napas berat ketika ia menginjakkan kaki di hadapan sebuah gedung yang tidak akan pernah ia lupa. Sebuah gedung yang tersebut dalam sumpahnya--sumpah bahwa ia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini.

Tempat yang membuatnya mengingat kembali apa yang terjadi di sini beberapa tahun silam. Ingatan tentang kecelakaan nahas yang merenggut nyawa sang istri.

Dan sekarang ... lelaki itu melanggar sumpahnya.

Terakhir kali, tempat ini menjadi salah satu dari daftar memori terburuk dalam hidupnya. Tepat di gedung ini, sang istri mengadakan pertunjukan solonya. Persis di tengah sana, di mana sebuah piano hitam yang kini berdiri kokoh adalah tempat yang sama di mana piano putih kebanggaan sang istri berdiri beberapa tahun silam.

Dulu, sepulang dirinya dari gedung ini, lelaki itu mengikat dirinya dengan sumpah bahwa ia tidak akan pernah datang ke tempat ini lagi, apapun alasannya. Ia bersumpah bahwa di tempat inilah kali terakhir ia akan mendengar denting piano. Namun, kini ia datang kembali dengan rantai sumpah yang telah terurai.

Sumpahnya telah rusak sejak satu lagu dimainkan oleh putranya pada saat itu.

Kini, ia datang kembali dengan janji yang baru. Janji untuk menekan egonya, janji pada dirinya sendiri untuk mengingat semua hal yang terjadi pada hari itu hanya sebagai kenangan baik, serta janji untuk melepas semua rasa bencinya pada denting piano.

***

Sudut bibirnya terangkat membentuk sunggingan senyum ketika sang putra beranjak menaiki panggung. Lelaki itu terdiam sejenak saat Yoongi menduduki bangku kecil di depan piano. Dalam hati ia berharap, agar penampilan putranya berjalan lancar, walaupun lelaki itu yakin bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menemukan celah sekecil apapun dari penampilan sang putra.

"Anda gugup, Tuan Min?" pertanyaan dari lelaki di sampingnya ia balas dengan gelengan ringan.

Kim Namjoon, lelaki mantan pengajar homeschooling sang putra itu juga turut datang hari ini--yang tentu saja datangnya lelaki itu karena termakan bujukan maut Yoongi.

"Kurasa aku tidak perlu merasa gugup untuknya. Karena Yoongi pasti akan selalu menyuguhkan permainan terbaiknya," Tuan Min berucap dengan siratan bangga dalam kalimatnya, yang dibalas dengan anggukan setuju oleh Kim Namjoon.

Sedetik setelah jemari lincah sang putra menari di atas tuts, senyum bangga lelaki itu berubah menjadi senyum pedih. Sorot mata tenangnya berubah menjadi tatapan dalam yang penuh dengan kesedihan, ketika ia mengetahui bahwa denting yang dimainkan oleh putranya adalah denting yang sama dengan yang dimainkan oleh sang istri dalam permainannya yang terakhir kali.

Piano: Happiness & Sadness ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang