Kesembilan: Kalah Telak

473 100 17
                                    

Kepalan tangannya masih keras, bahkan ketika Kim Namjoon--lelaki muda yang berperan menjadi guru ajar sang anak--telah meninggalkan café beberapa menit lalu.

Nyatanya, walau tidak ada reaksi berarti yang ia tunjukkan atas kalimat-kalimat Kim Namjoon, hatinya merasakan lain: sebuah cubitan pedih yang membuatnya tertunduk getir.

Dirinya merasa Kim Namjoon benar sepenuhnya, tentang ia dengan egoisme tingginya yang telah membakar mimpi sang putra.

***

"Percaya atau tidak, ada lebih banyak orang yang menunggumu dibandingkan dengan aku," si lelaki berucap seraya tertawa kecil.

Yoongi mengernyit dalam. Menunggunya untuk apa?

"Menungguku? Untuk?"

"Permainan pianomu! Sejak kau memainkan piano saat itu, banyak orang yang datang setiap minggunya hanya untuk bertanya apakah kau akan datang dan membawakan satu lagu lagi."

Yoongi tertawa kecil. Tidak ada sama sekali dalam pikirannya bahwa akan ada yang menunggu permainan pianonya.

"Dan mungkin, kau harus memainkannya sekali lagi." Ucapan dari lelaki di sampingnya membuat Yoongi mengangguk dengan senyum lebar.

Memainkannya sekali lagi?

Tawaran itu terdengar bagus dan bukankah memang itu tujuannya datang kemari? Untuk membuang semua ketakutan yang ia punya, meyakinkan dirinya sendiri atas mimpi yang dikehendakinya, dan membuktikan bahwa dirinya percaya akan mimpi yang menjadi takdirnya.

Bukankah itu adalah tujuannya melangkah ke tempat ini?

"Kau tahu, Yoongi? Tidak semua mimpi bisa kaulakukan sewaktu-waktu. Ada banyak orang yang berpikir bahwa mereka bisa meraih impian kapan saja, tapi yang terjadi justru mereka terjerumus hingga impian itu hanya menjadi mimpi yang terkubur selamanya."

"Kakak akan bantu bicara kepada ayahmu. Yang perlu kaulakukan hanyalah jujur atas perasaanmu. Mungkin, memang tidak akan berjalan mudah, tapi pantas untuk dicoba, 'kan?"

Diam-diam, Yoongi membenarkan perkataan Kak Namjoon. Tidak semuanya berjalan dengan mudah. Kadang ia perlu bekerja keras terlebih dahulu untuk mendapat apa yang ia inginkan. Setelah itu pun, belum pasti ia langsung bisa mendapat hasilnya. Mungkin ia akan gagal beberapa kali, tapi kalau Yoongi pikir, jika ia gagal, maka kegagalan yang ia hadapi itu adalah sebuah keharusan yang akan menjadikan keberhasilannya terasa lebih nikmat.

Ia hanya harus melakukannya. Berbicara pada ayahnya bukan hal yang sulit jika saja ia punya cukup keberanian. Ia hanya harus mengumpulkan keberanian sedikit lebih banyak dan bicara terus terang tentang perasaannya.

Karena ucapan Kak Namjoon, rasa putus asanya perlahan terkikis. Ia telah membuat keputusan bulat untuk kembali pada piano. Dirinya hanya terlalu mencintai benda ini hingga rasanya piano tidak bisa lepas dari dirinya. Karena itulah ia meyakinkan diri untuk melangkahkan kaki ke tempat ini. Sekali lagi mengunjungi si piano jalanan untuk memainkan satu lagu lagi.

Satu lagu dimainkannya dan dirinya merasa puas juga lega begitu permainannya selesai. Sebagian dari beban pada bahunya menghilang bersama dengan berakhirnya permainannya. Tepat saat itu, di samping gemuruh tepuk tangan penonton, sepasang manik cokelat gelapnya menangkap sosok sang ayah yang berada di depan sebuah café pinggir jalan, tengah menatapnya dengan sorot rumit dan tangan yang dikepal keras.

***

Yoongi sengaja pulang terlambat sore ini. Jika anak itu biasa sampai di rumah sebelum pukul lima sore, kali ini ia pulang ketika waktu menunjukkan pukul lima tiga puluh. Yoongi sengaja menunggu sang ayah pulang terlebih dahulu dan ia akan bicara terus terang mengenai perasaannya pada piano dan larangan yang dibuat oleh sang ayah.

Pintu rumah Yoongi buka perlahan, lantas ia hela napas pelan ketika melihat ayahnya yang sedang bersantai di ruang televisi dengan secangkir kopi hitam favoritnya.

"Ayah, bisa kita bicara?" katanya.

Lelaki paruh baya itu terdiam. Ia tatap putra sejenak, lantas mengangguk ringan.

"Ayah juga punya hal untuk dibicarakan, tentang permainan pianomu sore ini." Lelaki itu menghela napas kasar. "Melanggar lagi?" tanyanya retoris.

Yoongi mengangguk. "Iya dan mungkin Yoongi akan melanggar larangan Ayah lagi dan lagi," ujarnya yang membuat sang Ayah terdiam.

"Maksudmu?"

Yoongi terdiam sejenak, menyempatkan untuk mengulum bibirnya yang terasa kering karena gugup. Lalu, setelah ia mengumpulkan keberanian dan sudah yakin betul atas apa yang diinginkannya, anak itu berucap, "Yoongi merasa tidak bisa mematuhi larangan yang Ayah buat. Ini terlalu sulit," lirihnya. Sejenak, ia lirik sang ayah yang hanya diam mendengarkan.

"Yoongi suka piano, sangat. Karena itulah, Yoongi rasa larangan Ayah terasa sangat menyebalkan ... membatasi keinginan dan mimpiku," katanya. Sejenak, diliriknya sang ayah yang masih mengatupkan bibir. Ayahnya sama sekali belum punya niat untuk membuka mulut.

"Kematian ibu sudah beberapa tahun yang lalu, Ayah. Yoongi paham waktu bertahun-tahun itu cukup untuk menuntaskan rasa sedihku, tapi mungkin belum untuk Ayah. Tapi, Kak Namjoon bilang, kalau tahap terakhir duka itu adalah perkembangan. Semuanya masih harus berjalan, 'kan, Ayah?" ucapnya.

"Pelan-pelan ayo lupakan semua kenangan buruknya, karena kita bisa menghargai kematian ibu dengan cara yang lebih baik."

Kalimat terakhir Yoongi berhasil membuat Tuan Min mencelos. Rangkaian kata-kata yang diucap putranya telak menghunjam hati kecil di sudut sana hingga membuahkan sesak yang tidak terkira.

Menghargai kematian sang istri dengan lebih baik. Entah kenapa, kalimat itu semakin membuat dirinya merasa bersalah. Membuatnya diserang balik oleh keegoisan dan segala sikap otoriternya.

Lelaki paruh baya itu merasa kalah. Kalimat yang diucap putranya, ditambah perkataan Kim Namjoon sore tadi membuatnya bungkam. Ia tidak lagi bisa membela diri.

Karena itulah, ia beranjak. Pergi ke kamarnya dan menutup pintu kamar tanpa sepatah kata. Meninggalkan sang putra di ruang tengah tanpa memberikan satu pun balasan atas kata-katanya.



To be Continue

Piano: Happiness & Sadness ✔Where stories live. Discover now