Ketiga: Benang Merah

541 127 52
                                    

Senyumannya berganti dengan raut tegang yang menyimpan banyak ketakutan ketika ia melihat presensi sang ayah di ambang pintu masuk. Anak itu membatu ketika tatapan marah bercampur kecewa dari ayah menyorot dirinya. Menyebar rasa takut juga gugup hingga kesepuluh jemari tangannya.

"Kim Namjoon, kau bisa pulang lebih awal hari ini. Kembalilah esok hari."

Yoongi menunduk, barangkali terlalu takut untuk bersinggungan tatap dengan sang ayah. Bibirnya digigit kuat-kuat. Pelajarannya pagi ini bahkan belum benar-benar dimulai dan sang ayah dengan keotoriterannya meminta Kim Namjoon: pengajar homeschoolingnya untuk pulang lebih awal.

Anak itu meringis. Ini benar-benar bukan hal yang baik.

***

Yoongi masih tetap pada posisinya ketika sang Ayah menutup pintu rumah. Namjoon baru saja pulang dan ini adalah waktu yang tepat untuk memberinya 'sedikit' hukuman, Yoongi pikir begitu.

"Sudah keberapa kalinya, Gi?" Diucap dengan aksen dingin yang terdengar sekali geramnya.

"Jangan menyentuhnya. Sudah berapa kali Ayah berkata seperti itu dan sudah berapa kali kau melanggarnya?!"

"Apa larangan Ayah hanya kau anggap sebagai angin lalu?"

Yoongi menggeleng cepat. "Ti-tidak. Maafkan Yoongi, Ayah."

"Dan sudah berapa kali kata maafmu itu kauingkari?"

Sang ayah menghela napas kasar. Lelaki itu berjalan ke sudut ruangan demi mengambil sebuah stik golf lama miliknya. "Kedua tanganmu. Di atas piano," katanya pada sang putra yang dengan segera dituruti.

Lelaki itu memejam sejenak, mengeratkan genggaman pada stik golf di tangannya, dan mengayunkannya beberapa kali dengan cukup kuat pada kesepuluh jemari putranya. Membuahkan jeritan tertahan yang disembunyikan dengan baik oleh denting nyaring piano.

"Jangan lagi pernah menyentuh piano." Setelah merasa cukup puas dengan hukuman yang juga menjadi jalan baginya untuk meluapkan kemarahan, lelaki itu berucap. Dilemparnya tongkat golf ke sembarang arah dan dengan langkah lebar-lebar, lelaki paruh baya itu keluar dari rumah. Mengabaikan tujuannya pulang ke rumah: mengambil dokumen kantor yang tertinggal.

Seperginya sang ayah, Yoongi baru berani untuk mengangkat tangannya dari atas piano. Anak itu meringis perih, menatap pada jemari tangannya yang memerah dan hampir lecet kesepuluhnya.

Diambilnya selembar tisu untuk menghapus noda darah pada tuts piano, barulah setelah itu ia pergi ke kamarnya untuk membersihkan dan mengobati luka di jemarinya yang mungkin akan memakan waktu cukup lama.

***

Pembelajaran hari ini selesai lebih cepat dari yang seharusnya, dengan Namjoon yang membacakan beberapa lembar materi juga dengan baiknya bersuka rela menuliskan beberapa poin-poin penting di buku catatan anak ajarnya.

Yoongi sudah menolak, sebenarnya. Anak itu berkata bahwa ia bisa mengingatnya dan akan mencatat semua materi yang diajarkan ketika ia sudah bisa menulis kembali. Namun, Namjoon menolak. Alasannya masuk akal, karena ia yakin Yoongi akan lupa beberapa materi yang diajarkan. Mungkin memang tidak semua, hanya beberapa poin dari apa yang diterangkannya hari ini. Namun, tetap saja ia menganggap beberapa poin itu berharga.

"Terima kasih untuk hari ini, Kak Namjoon," Yoongi berucap seraya menutup buku catatannya.

Namjoon mengangguk ringan. "Sudah tugasku," balasnya. Sejenak ia lirik jemari sang anak ajar yang terbalut kasa acak-acakan. Lelaki itu mendesah gemas.

"Ayo obati dulu jemarimu dengan benar," katanya, "masih punya cairan antibiotik dan kain kasa?" tanyanya yang dibalas dengan gelengan polos.

***

Habisnya kasa dan cairan antibiotik mengharuskan Namjoon untuk pergi ke apotek terdekat dan membeli keduanya. Kalau dipikir juga, sebenarnya ia tidak harus sampai seperti ini. Namun, lelaki itu merasa bahwa lukanya jemari Yoongi merupakan salah satu dari seluruh tanggung jawabnya. Bukan sebagai pengajar, tapi dengan apa yang terjadi kemarin--datangnya Tuan Min dengan tampang marah yang berakhir dengan memintanya untuk pulang lebih awal--Namjoon rasa, ia telah melakukan kesalahan dengan menawarkan piano untuk Yoongi.

Peristiwa kemarin adalah hubungan sukar antara piano, Yoongi, dan Tuan Min. Masalah personal antara Tuan Min dan piano, Namjoon tebak. Karena Yoongi terlihat tidak memiliki masalah dan benar-benar akrab dengan piano. Seakan benda dengan tuts hitam putih yang elegan itu telah membesarkannya, menemaninya selama sekian tahun.

Tapi, sungguh. Yoongi itu berbakat, Namjoon bersumpah dalam hati. Kemarin adalah kali pertamanya melihat permainan piano dari Yoongi dan saat itu juga, Namjoon merasa dirinya ditarik oleh kekuatan magis yang membuainya dalam bentuk alunan denting piano.

Lelaki itu membuang napasnya kasar ketika merasakan bulu kuduknya berdiri. Ikatan antara Yoongi dan piano bukan hanya ikatan emosional belaka. Dalam imajinernya, Namjoon merasa ia bisa melihat benang merah yang menghubungkan antara Yoongi dengan takdirnya ... dan itu membuatnya merinding, takjub.

***

"Nah, bukankah sekarang terasa lebih baik?"

Yoongi mengangguk semangat. "Iya. Terima kasih Kak," ucapnya.

Ia tatap beberapa bebatan kasa pada jemarinya. "Ini juga terlihat jauuuh lebih baik daripada bebatanku yang tadi," kekehnya.

Namjoon tersenyum tipis. Menampakkan lesung pipit di kedua sisi pipinya.

"Kalau begitu, Kakak pergi dulu, ya. Jangan lupa, kasanya harus diganti setiap hari. Caranya seperti yang sudah kuajarkan tadi," peringatnya.

"Akan kulakukan dan mari kuantar sampai depan, Kak." Yoongi beranjak, mengikuti Namjoon yang berada beberapa langkah di depannya, lalu menunggu hingga Namjoon dengan motor retro klasiknya tak lagi terlihat dalam jarak pandangnya.

Yoongi menutup pintu rumah dan mengambil buku juga alat tulisnya untuk dibawa ke kamar. Anak itu terdiam sejenak. Sorot mata sendunya ia adu dengan piano cokelat di ujung ruangan.

Yoongi buang napasnya kecewa. "Tidak ada lagi piano," ia melirih seraya beranjak memasuki kamar.



To Be Continue

Piano: Happiness & Sadness ✔Where stories live. Discover now