Terakhir: Satu Lagu

651 94 59
                                    

Hm? Piano?

Yoongi bangun dengan kernyitan samar pada dahinya. Diusapnya wajah kasar sembari menggeleng kecil. Astaga. Ini masih pagi dan ia sudah berhalusinasi, mendengar suara denting piano dari lantai bawah.

Yoongi menggerutu. Sekali lagi ia menggeleng dan memutuskan untuk melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Tidak ada lagi piano di rumah ini. Satu-satunya piano yang mereka miliki adalah milik ibunya dan piano itu telah dibakar oleh ayahnya beberapa bulan lalu. 

Anak itu berdecak. Halusinasinya pasti muncul sebab rasa rindunya pada piano. Terlebih, Yoongi tidak lagi mendekati piano sejak hari itu--ketika ia memberanikan diri untuk berbicara kepada ayahnya. Atau lebih tepatnya, satu lagu yang ia bawakan dengan piano jalanan pada sore hari itu adalah permainan terakhirnya.

Ayahnya belum memberi balasan atas kata-katanya kurang lebih dua bulan ini, dan selama dua bulan inilah Yoongi berpikir bahwa ia benar-benar harus melepaskan mimipinya pada piano dan mencari impian lain yang bisa ia minati.

Ia telah melupakan piano sejak saat itu. 

Karena itulah, Yoongi bisa tertawa sumbang ketika indra rungunya manangkap denting piano dari lantai bawah. Suara denting yang jelas-jelas hanya khayal. Akan tetapi, semakin lama, suara denting itu terdengar semakin nyata. Awalnya, hanya permainan not tidak beraturan, hingga akhirnya berubah menjadi sepenggal lagu yang tidak asing baginya. 

Alisnya mengernyit. Yoongi batalkan niatnya untuk kembali tidur dan pergi ke lantai bawah untuk mencari tahu apakah denting yang ia dengar ini nyata atau hanya khayal.

Meskipun ragu, ia arahkan langkah kakinya ke ruang tengah dan begitu sampai di sana, Yoongi rasa ia harus menampar pipinya sendiri untuk memastikan bahwa dirinya hanya bermimpi. Sebab, dirinya melihat sang Ayah ada di sana. Duduk di sebuah bangku, di hadapan piano cokelat klasik yang mirip seperti kepunyaan sang ibu.

"Ayah ...?"

Permainan Ayahnya berhenti. Lelaki itu menoleh ke arahnya, membuat ia menggelengkan kepala. Seakan menyadarkan diri dari mimpi yang terasa sangat nyata. 

Ayahnya tidak suka bunyi piano dan piano cokelat ibunya sudah hangus dibakar. Jelas, ini semua hanya khayalan anehnya.

"Oh, astaga. Aku pasti bermimpi." 

Yoongi tertawa. Anak itu menepuk tengkuknya keras dan menggelengkan kepala berkali-kali. Ini adalah mimpi paling mengerikan yang pernah ia alami. Sebuah mimpi yang tidak akan bisa menjadi nyata dan pasti akan membayanginya setiap saat.

"Gi ...."

Baru saja Yoongi hendak kembali ke kamar, ketika ia mendengar sang Ayah memanggilnya. Ia menghentikan langkahnya, tanpa ada niat untuk membalikkan badan. 

Sampai ketika sang Ayah berucap, "Mau mainkan satu lagu?" yang membuatnya tertegun seketika. Membuatnya mematung di tempat.

Memainkan ... satu ... lagu?

***

Lelaki paruh baya itu merasa kalah. Ia kehabisan kata-kata yang bisa dirangkai menjadi kalimat pembelaan. Ucapan Kim Namjoon di café itu benar sepenuhnya. Kata-kata lelaki muda itu tentang permintaan sederhana sang putra berhasil mencubit hati kecil di sudut sana.

Impian putranya hanya bermain piano. 

Benar-benar hanya memainkannya. 

Sesederhana itu.

Kata-kata yang menyerangnya dengan telak, membuatnya bungkam seolah bisu. Harga dirinya sebagai seorang ayah telah dijatuhkan oleh ucapan Kim Namjoon yang masih saja teringat dalam kepalanya, walau berbulan-bulan telah berlalu.

Piano: Happiness & Sadness ✔Where stories live. Discover now