19. ayo menepi

876 136 47
                                    

Kadang, jam dua pagi bisa menjadi fase krusial segala pikiran berpusat pada satu titik yang enggan terpecah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kadang, jam dua pagi bisa menjadi fase krusial segala pikiran berpusat pada satu titik yang enggan terpecah. Namun, Billkin sedang malas berpikir dan malah memusatkan perhatian pada layar minimalis di hadapannya. Laptop tipis itu sudah dinyalakan sejak Billkin menginjakkan kaki di kamar, menampilkan film yang ia tonton hampir dua jam lamanya.

Ceritanya tentang dua manusia saling cinta, tapi ditentang dunia. Kalau tidak salah ingat, judul filmnya Your Name Engraved Herein. Dulu sehabis menonton film ini, Bank bercerita gamblang dengan tampang excited pada Billkin selama seharian penuh di studio. Sky dan Pond ikut mendengarkan, tapi fokus Bank tetap mengarah ke satu titik.

Menurut Bank, film ini adalah representasi kalau cinta tidak hanya butuh ketulusan, tapi juga validasi. Bukan, bukan validasi orang-orang. Namun, validasi masing-masing hati buat menerima kalau memang sedang jatuh cinta. Katanya tulus dan mau yang terbaik, tapi untuk memvalidasi perasaan sendiri saja tidak mau.

Ya susahlah.

Lalu, selepas menonton, Billkin jadi berpikir, memangnya berbuat sesuatu berdasarkan ketulusan bukan merupakan salah satu bentuk validasi atas perasaan?

Sayangnya, nggak ada yang menjawab pertanyaan itu. Film barusan selesai dan kamar Billkin hanya diramaikan oleh suara pendingin ruangan.

"Repot banget," gumamnya pada diri sendiri. "Dasar cinta."

Surai Billkin diacak, ia mengambil ponsel yang terletak di atas nakas—dan entah kebetulan atau apa, satu panggilan dari kontak familier tiba-tiba memenuhi indra penglihatannya. Kening Billkin agak mengerut, merasa aneh dengan telepon di jam tidak wajar seperti ini.

PP Krit, meneleponnya.

"Halo? Lo gak salah mencet nomor?"

Billkin mendengar dengusan geli yang diiringi gumaman singkat. "Ganggu gak?"

Ada bising kendaraan yang tertangkap pada indra pendengaran Billkin. Lantas si vokalis menaikkan satu alis, merasa sedikit aneh. "Lo di mana deh? Kedengeran rame jalan."

Terkekeh yang di sana. "Di pematang jalan depan Kafe Realisme."

Billkin refleks berdiri, berjalan menuju pintu kamar meski gak tau tujuannya buat apa. "Gila lo ya?"

"Masih waras."

"Ngapain? Nanti kalo sakit kena angin malem gimana?"

PP agaknya sedikit menghangat kala jawaban yang ia kira akan berupa amarah malah menjadi sebuah kalimat penuh kehati-hatian. "Lo gak mau marahin gue?"

"Ada yang lebih penting buat dilakuin daripada marah," balas Billkin tenang tanpa intonasi tertentu. "Gue ke sana ya? Lo pake jaket? Atau hoodie? Mau gue bawain apa?"

"Bawa diri lo aja."

Napas Billkin tertahan sebentar, ia hampir saja menjatuhkan ponsel. "Oke sure. Maksudnya selain gue gitu. Mau McFlurry? Atau apa kek yang bakal bikin lo ngerasa lebih baik."

radio sabtu | bkppWhere stories live. Discover now