6. layak disebut

979 201 25
                                    

Billkin menatap kosong layar benda persegi panjang yang sejak tiga puluh menit lalu ia genggam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Billkin menatap kosong layar benda persegi panjang yang sejak tiga puluh menit lalu ia genggam. Aplikasi note dengan ketikan setengah jadi membuatnya termenung sebentar, berusaha memahami kata per kata yang baru saja ia ketik.

Jadi, mulanya adalah Billkin sedang berada di kantin fakultas  bersama Harit yang sibuk menggenjreng gitar. Teman satu kelas sekaligus tetangga Bank itu menambah riuh kantin, sengaja bernyanyi dengan suara tidak jelas. Sementara Billkin, asik bermain ponsel tanpa menghiraukan kegaduhan yang Harit ciptakan. Lalu, jemarinya tergerak untuk membuka aplikasi notes di ponsel. Mengetik setiap huruf yang ada hingga menghasilkan sebuah lirik lagu.

"Rit, band lo apa kabar?"

Harit yang awalnya sedang tertawa kencang karena suaranya sendiri, kini telah mengalihkan atensi pada Billkin. "Baik-baik aja band gue. Kenapa? Lo mau ngajak kolaborasi?"

"Kagak," Billkin berkilah, lantas menunjukkan layar ponselnya ke arah Harit. "Cakep gak?"

Selama beberapa detik fokus pada tiap kata yang ada di sana, Harit menaikkan alisn. "Lo nulis lirik kayak gitu udah macem orang lagi jatuh cinta ... apa emang iya?!"

"Ngaco. Udah diem."

"Lagian biasanya yang sering bikin tuh si Bank. Kalo dia, gue gak heran, soalnya ada pacar. Lah kalo lo baru aneh." Harit dengan ocehan tidak ada saringannya membuat Billkin mendengus jengah. "Ngaku deh, lo lagi naksir orang ya?!"

"Jangan bikin gosip."

"Ah, gak seru," Harit mencibir. "Liat aja nanti gue cari tau sendiri."

Sedangkan Billkin hanya menanggapi dengan dengusan. Harus ia akui, kalau sudah menyangkut informasi, kadang Harit tidak ada bedanya dengan FBI. Entah cara apa yang cowok itu gunakan hingga bisa menemukan titik temu atas pencariannya.

"Udahan kan hari ini gak ada matkul lagi?" Billkin menyenggol pundak bebas Harit, membuat si empunya bereaksi dengan mengangguk-angguk konstan.

"Iya. Mau cabut lo?"

"Benar, ngapain juga di sini sama lo."

Harit melempar pick gitar di tangannya kepada Billkin dengan sepenuh hati. "GAK INGET LO TADI MINTA DITEMENIN KE KANTIN SAMBIL MOHON-MOHON?!"

"Kan tadi."

"Dasar manusia gak tau diuntung!'

Tawa Billkin tidak tertahankan melihat wajah sepet Harit yang menyeruput es teh miliknya. Sudah tiga puluh menit mereka di sana, tapi Harit masih belum menghabiskan es teh itu sampai es batunya meleleh semua. Kemudian, Billkin membereskan tasnya, menepuk pundak Harit dua kali sebelum melangkahkan kaki keluar dari kantin fakultas dengan diiringi ocehan tiada dari teman satu kelasnya tersebut.

Tadi, perut Billkin memang tidak bisa diajak kompromi dan berakhir dengan ia harus merayu Harit melalui berbagai macam cara agar pemuda itu mau menemani Billkin makan. Ternyata saat sampai di kantin, Harit malah mengadakan konser dadakan sembari menemani Billkin.

radio sabtu | bkppWhere stories live. Discover now