Mari lepaskan rasa sakit hingga dapat kembali bangkit
***Septian bilang dirinya adalah cewek berjiwa bebas. Memang benar. Tidak ada yang melarang Shenza melakukan apa pun dan pergi ke manapun. Ia hidup bebas seperti apa yang ia inginkan selama ini.
Meskipun begitu, Shenza tidak dapat menyembunyikan perasaan lain dalam dirinya. Ada kalanya ia ingin seseorang melarangnya karena merasa khawatir atau memarahinya karena ia bebal.
Namun, apa yang Shenza harapkan tidak akan pernah ia dapatkan. Kata pulang yang Mentari bilang seperti mengejeknya. Fakta yang sesungguhnya adalah ia tidak pernah benar-benar memiliki rumah. Sejak dulu, seharusnya memang seperti ini. Shenza ditakdirkan untuk hidup sendiri.
Langkah cewek itu terhenti. Shenza memandangi jalanan di depannya dengan pikiran penuh. Beberapa angkutan umum melewatinya, tapi Shenza tetap diam di tempat, tak berminat untuk naik.
Permintaan Mentari cukup mengganggunya. Dibalik sikap abainya, tersemat rasa rindu yang menggebu. Shenza ingin egois. Menemui mereka dan menumpahkan segala beban yang menimpa pundaknya, tapi ia tidak bisa.
Suara klakson membuyarkan lamunannya. Senyum di bibirnya muncul mendapati teman semasa SMP nya melambaikan tangan. Arinda, cewek itu tampak semakin chubby saja setiap harinya.
"Selamat siang Raranya Arinda!" sapa cewek itu ceria. Shenza hanya bergumam pelan dan langsung naik ke boncengan. Kebetulan Arin memang sering membawa motor ke sekolahnya, sedangkan Shenza harus berpikir ribuan kali untuk membeli kendaraan beroda dua tersebut. Pantang baginya meminta dibelikan pada- hm mereka.
"Langsung kosan apa cari makan dulu?" tanya Arin yang meliriknya lewat kaca spion.
Mengingat bahan makanan yang ada di kosannya, Shenza segera menanggapi. "Di kosan cuma ada mie instan doang."
"Ya udah deh, kita nyari makan dulu sekalian cemilan buat nanti malem." Arin kemudian mengajaknya berkeliling untuk mencari pengganjal perut. Setelah mendapatkan semua yang mereka butuhkan, keduanya segera pulang untuk makan dan beristirahat.
"Ra, elo abis ketemu Devin emang?" tanya Arin yang tengah tiduran di atas tempat tidurnya. Shenza yang sedang melipat pakaian menoleh lalu mengangguk.
Arin segera bangkit dan mendudukkan diri di sebelahnya. "Tuh anak gak ngelakuin apa-apa, kan sama lo?"
Menggelang, Shenza balik bertanya. "Dia bilang apa emang? Kalian sengaja ketemuan?"
Cewek itu berdecih. Sebenarnya Shenza merasa bersalah karena dulu sebelum kejadian itu, Arin dan Devin adalah dua orang yang cukup dekat.
"Dia tiba-tiba nyamperin ke kelas dan nanyain elo. Katanya apa bener lo satu sekolah sama Varo," ucap Arin kemudian menatapnya heran. "Emang si Varo gak pernah cerita kalau kalian satu sekolah selama ini?"
Shenza mengedikkan bahu. Mungkin saja seperti itu. Kenyataannya mereka memang saling berusaha untuk tidak bersinggungan selama hampir dua tahun ini. Hingga kemarin tanpa diduga cowok itu mengusiknya. Tentu ia tahu alasan di balik itu semua.
Navaro masih sakit hati terhadapnya.
Navaro terlalu muak menahan kebencian seorang diri dan mulai berpikir untuk meluapkannya."Gue gak pernah bisa ngerti atas apa yang terjadi." Arin ikut mengambil kaos miliknya dan membantu melipat dengan rapi. Mulutnya masih setia berbicara. "Sampai sekarang, gue masih yakin kalau lo gak sejahat itu, Ra."
Gerakan tangan Shenza sempat terhenti. Ia menghela nafas dan melanjutkan kegiatannya. "Kenapa lo bisa berpikir seperti itu?"
Hening sejenak.

YOU ARE READING
TRIP-EX ✓
Teen FictionShenza Aurora dan Navaro Abimanyu adalah kepingan hati yang tak ingin kembali utuh. Kepahitan di masa lalu membuat keduanya membangun dinding menjulang bernama kebencian. Namun, bagaimana jika semesta memaksa mereka untuk kembali mengulang kisah yan...