Bagian 6, Mentari

596 112 40
                                    

Ada yang masih bisa diperbaiki jika kamu mau sedikit saja membuka mata.
***

Keadaan lapangan cukup ramai. Jam istirahat sedang berlangsung dan beberapa siswa memilih bermain basket sembari menunggu bel masuk berbunyi, termasuk Navaro.

Tepuk tangan beberapa siswi terdengar saat salah satu dari mereka berhasil memasukan bola ke dalam ring. Navaro pandai bermain basket, tapi tidak mengikuti ekskul tersebut.

Melewati lawannya, Varo melirik pada Oji yang melambaikan tangan. Ia hendak melemparkan bola di tangannya, tapi tatapannya tak sengaja terarah pada sosok tak asing yang sedang berjalan sendirian. Sebuah seringaian muncul di bibirnya. Segera Varo melemparkan bola tersebut, melewati sahabatnya dan ...

"Aws!" teriakkan seseorang berhasil menarik perhatian. Varo mengangkat tangan, mengisyaratkan yang lain untuk tenang. Setelah meminta Oji mengambil bola yang menggelinding cukup jauh, Varo menghampiri korban keusilannya yang masih meringis, memegangi dahinya.

"Sorry ... sengaja," ucap Varo membuat sosok tersebut perlahan mendongak, disusul dengan matanya yang berubah tajam. "Sakit?"

Shenza berusaha untuk tidak meledak. Tahan, Ra, tahan. Mengembuskan nafas dalam, ia menarik kedua sudut bibirnya. "Enggak."

Hampir saja terbebas, tapi cowok itu terlebih dahulu meraih tangannya. Shenza berdecak lalu menatap Varo dengan enggan. "Gak usah minta maaf, gue gak butuh itu, kok."

Seketika Varo mendengkus. "Gak usah geer. Gue cuma mau tanya, sakit gak? Kalau enggak mau gue ulang lagi."

Varo tahu cewek di depannya mulai terpancing emosi. Terlihat dari wajah yang memerah, pula rahangnya yang mengeras. Tersenyum miring, ia beralih menepuk bahu Shenza. "Santai Aurora, ini belum seberapa. Simpan dulu marahnya ya, buat nanti?"

Sudah Shenza duga kalau cowok itu akan melakukan sesuatu untuk membuatnya kesal. Namun, ia harus tetap tenang atau Varo akan semakin kesenangan nanti.

Menghempaskan tangan Varo, ia melakukan gerakan membersihkan lengan seragamnya. Hal tersebut membuat cowok di hadapannya terkekeh.

Dengan gaya angkuh, Shenza bersedekap dada. "Gue gak marah kok. Elo, kan gak sengaja," ucapnya lalu berpura-pura melihat jam di pergelangan tangan. "Em gue buru-buru nih, duluan ya ... Abimanyu."

Shenza tersenyum miring. Ia tahu, di balik sikap tenangnya, Varo cukup terkejut dengan panggilan yang sering ia ucapkan dulu untuk menggoda cowok itu.

Berbalik, raut wajah Shenza berubah. Ia mendengkus dan melangkah cepat menuju kelasnya. Siang ini Varo berhasil membuatnya kesal. Tak jauh berbeda dari cewek itu, Varo mengembuskan nafas kasar, merasa tak puas dengan apa yang dilakukannya.

"Ini baru permulaan," ucapnya menatap tajam pungggung Shenza yang semakin menjauh. Varo kemudian kembali memasuki lapangan. Ia tak menyadari keberadaan seseorang yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka.

Mentari memicingkan mata, memandangi cowok itu yang kembali melanjutkan kegiatannya. Kernyitan di dahinya tampak dalam. Banyak tanya di benak menciptakan dorongan besar dalam dirinya untuk mengetahui lebih lanjut tentang keduanya.

Kebencian, kekecewaan dan ... haruskah ia sebutkan apa yang dilihatnya tadi? Mentari berdecak. Sepertinya setelah ini, ia akan lebih sibuk.

"Ngapain bengong sendirian?"

Suara itu membuatnya terkesiap. Mentari mengembangkan senyumnya lalu berkata, "Ngelamunin tempat di mana seharusnya Mentari berada."

Cowok itu hanya terkekeh, kemudian mengusap pelan rambut Mentari.
***

TRIP-EX ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang