Bagian 32, Berakhir dengan Pertemanan

642 122 90
                                    

Mari akhiri luka ini dan memulai semuanya dari awal lagi.
***

Varo turun dari kendaraan beroda duanya. Setelah sampai rumah dan berganti pakaian, ia segera melajukan motornya menuju toko milik Arumi, tepatnya untuk menemui seseorang yang katanya sedang bersama sang adik.

Memasuki area taman, ia mendapati Shenza dan Cio sedang duduk di sebuah kursi besi. Cewek itu tampak fokus mengajari adiknya. Varo hendak melangkah, tapi tak jadi. Ia memilih mengambil tempat duduk yang agak jauh, membiarkan mereka menyelesaikan aktivitasnya terlebih dahulu.

Dua puluh menit berlalu. Cio tampak membereskan buku-bukunya. Segera Varo berdiri dan menghampiri keduanya. Shenza tampak terkejut dengan kehadirannya.

"Loh, Kak Varo mau jemput Cio ya?" tanya Cio bingung. "Cio mau pulang sama bunda aj-mm."

Varo membekap mulut adiknya lalu melepaskannya lagi. "Kakak mau bicara sama Kak Rora," ucapnya melirik Shenza yang tertegun. "Cio langsung ke toko bunda ya?"

Arcio mengangguk patuh lalu berlari kecil keluar area taman. Tinggallah mereka berdua. Varo menatap cewek itu yang memilih memandang ke arah lain. Ia menghela nafas lalu duduk di sebelah Shenza.

Varo sengaja mengulur waktu karena ingin membuat Shenza berbicara terlebih dahulu. Ia dapat melihat cewek itu yang mulai tak nyaman dengan keberadaannya. Berkali-kali Shenza membenarkan posisi duduknya. Hingga kemudian sebuah decakkan terdengar dari bibir tipisnya.

Butuh waktu lama untuk membuat Shenza mau menatapnya. "Mau bicara apa?" ketusnya.

Varo mengulum bibir, tiba-tiba saja ingin tersenyum melihat raut kesal Shenza.

"Gak usah senyum-senyum! Gak ada yang lucu juga!"

Owh, ketahuan. Varo berdehem kemudian memiringkan badannya hingga posisi mereka berhadapan.

"Lo dulu gak ketus gini."

"Karena dulu sama sekarang emang beda!" balasnya cepat.

"Tapi perasaannya masih sama, 'kan?"

Cewek itu mengerjap cepat. Keterkejutan tampak jelas di wajahnya, tapi ia tak mau mengaku. Shenza malah mendengkus kecil lalu menatapnya sinis. "Apa sih gak jelas!"

Varo tetap bersikap tenang. Menghadapi perempuan yang sedang marah tidak akan selesai jika dengan amarah lagi. Harus ada salah satu yang mau menurunkan egonya untuk mengalah.

"Gue sama Mentari gak ada hubungan seperti yang lo kira," jelas Varo dengan nada lembut, mencoba membuat cewek di depannya paham. Terbukti, Shenza tampak terhenyak mendengar ucapannya.

"Mentari sengaja bilang kayak gitu biar kakaknya cemburu." Varo melirik tangan Shenza lalu meraih untuk digenggamnya. Lagi, cewek itu terkejut, tapi tak melakukan pemberontakan. "Gue menghabiskan waktu tiga tahun terakhir buat mengingat seseorang yang ... gue kira pantas untuk dibenci. Gue sampai gak punya waktu buat mikirin cewek lain."

Shenza menunduk dalam, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Gue kira, gue benar-benar membencinya, tapi melihat dia disakiti orang lain, melihat dia menangis, hati gue rasanya sakit. Gue gak bisa berhenti khawatir dan itu memuakan, apalagi saat gue ngerasa gak berguna sama sekali." Varo mengeratkan genggamannya.

Satu tetes cairan bening jatuh ke punggung tangannya. Shenza menangis tanpa suara. Tangan Varo bergerak untuk membenarkan sejumput rambut yang menghalangi pandangan cewek itu, mengaitkannya ke daun telinga. Ia kemudian menghapus air mata Shenza dengan hati-hati. "Don't cry, gue gak suka liat lo nangis."

TRIP-EX ✓Where stories live. Discover now