Bagian 22, Sosok Dibalik Pintu

581 129 61
                                        

Berhenti berlari dan kembalilah untuk memperbaiki
***

"Cio? Kata bunda, kakaknya diajak makan dulu."

Shenza mengerjap kemudian melirik Cio yang balas menyahut dan menariknya hingga hampir jatuh dari kasur. Semua terjadi begitu cepat. Shenza bahkan belum sempat bertanya pada anak itu ketika pintu sudah terbuka.

"Hore telur Cio!" Cio melepaskan tangannya Shenza dan berlari sampai hampir menubruk sosok di depan kamar.

"Arcio hat-" Cowok itu mendongak, ucapannya terhenti. Sama halnya dengan Shenza yang seketika membeliak.

Dari sekian banyaknya siswa di sekolah, kenapa harus cowok bernama Navaro Abimanyu yang menjadi kakak Cio? Kenapa wanita sebaik Arumi harus memiliki putra sebrengsek Navaro?
Kenap-

"Kalian masih di sini?"

Keduanya menoleh. Arumi berjalan mendekat dengan senyum lebar yang terpatri di wajahnya. Wanita itu merangkul bahu putra sulungnya lalu menatap Shenza. "Udah pada kenal, 'kan?"

Shenza segera merubah raut terkejut di wajahnya. Ia berusaha tersenyum. "I-iya tante, kebetulan ... kelas kita sebelahan."

"Wuah, bagus kalau begitu. Oh ya Varo, ini loh Rora yang sering diceritain Cio. Eh bunda udah pernah ngasih tau belum, kalau Rora juga jadi guru lesnya Cio?" Arumi menjelaskan penuh semangat, berbeda dengan kedua remaja di depannya yang tampak tak nyaman.

Rora?

Cowok dengan seragam yang sudah berantakan itu memicingkan mata, menatap penampilan Shenza yang memakai baju adiknya. Tanpa sadar, Shenza mengusap lengannya.

"Kalian kenapa sih diem-dieman gitu? Masih kaget ya?" Arumi menatap mereka bergantian. "Gak papa kok, bunda maklum. Oh ya, kamu ganti baju sana, abis itu langsung makan."

Varo mengangguk, kembali melirik Shenza yang segera membuang pandangan.

"Yuk sayang! Kita ke ruang makan duluan." Arumi meraih tangannya dan menarik pergi.

Sayang? Varo berdecih mendengar panggilan yang diberikan sang bunda. Entah apa yang sudah dilakukan Shenza sehingga keluarganya dengan begitu mudah menerima kehadirannya.

Mengedikkan bahu, Varo memasuki kamar untuk mengganti seragamnya. Berbeda dengan Shenza yang sejak tadi tak bisa tenang di tempat duduknya.

Sampai ketika Varo datang dan duduk di kursi yang tersisa, tepat di seberangnya, ia semakin gelisah. Bagaimana kalau Arumi mengatakan apa yang ia alami?

Varo pasti akan semakin mengolok kehidupannya yang menyedihkan.

"Kak Rora jangan ngelamun, ambil nasinya keburu dihabisin sama Kak Yara," celetukan Cio membuyarkan lamunannya. Ia melirik ke arah Yara yang sudah mengangkat sendok, bergaya seolah hendak melemparkan benda tersebut.

Shenza tersenyum kaku. Lagi, ia tak sengaja menatap ke arah cowok di depannya lalu segera menunduk dan mengambil nasi, memindahkan ke piringnya.

"Nasinya kok sedikit banget? Tambah lagi ya sayang." Arumi hendak mengambilkan lagi, tapi Shenza segera menggelengkan kepala. "Gak usah tante, segini juga cukup."

Wanita itu memicingkan mata. "Yakin? Badan kamu tambah kurus loh, perasaan pas pertama ketemu gak sekecil ini. Jangan karena banyak pikiran, kamu sampai gak makan."

Shenza meringis, berusaha mengabaikan tatapan Varo yang menghujaninya. Pasti banyak pertanyaan yang ada di kepala cowok itu saat ini.

"Hm iya, tan. Enggak kayak gitu kok," lirih Shenza menyuapkan nasi ke mulutnya. Entah memang rasanya sangat enak atau karena ia sudah lama tidak makan masakan rumah. Tiba-tiba saja matanya memanas. Ia berusaha menahan diri, bisa gawat kalau Varo melihatnya serapuh ini.

TRIP-EX ✓Where stories live. Discover now