39

2.4K 315 11
                                    

Malam ini adalah malam terakhir sebelum ujian nasional. Tidak seperti teman-temannya yang lain, yang mungkin sekarang tengah sibuk mengerjakan latihan soal atau membaca materi, Chan justru sibuk meliukkan badannya di hadapan cermin. Dengan musik yang mengalun memenuhi seluruh kamarnya. Mengabaikan panggilan dari keluarganya yang mengingatkannya untuk makan malam.

Persetan dengan ujian nasional. Cita-cita Chan tidak membutuhkan nilai bagus untuk dapat diraih, yang ia butuhkan hanya kemampuan dalam menari atau menyanyi. Ia tak memiliki mimpi lain selain menjadi seorang idol. Ambisinya seakan memenuhi seluruh jiwanya.

Lagipula, ia sudah rajin mengikuti kegiatan belajar bersama dengan teman-temannya. Ia pikir, hal itu sudah lebih dari cukup.

Musik berganti, begitu pula gerakan Chan. Berganti sesuai dengan musik yang mengiringinya. Malam semakin larut, tapi itu tak menyurutkan semangat Chan.

Ia lupa jika esoknya, ia harus bangun pagi untuk mengikuti ujian nasional.

"Mami, kalo Kakak sakit gimana? Kakak harus istirahat," ucap Ae-cha selagi matanya menatap lekat pintu kamar Chan yang tertutup rapat. Bocah itu berdiri di depan maminya, rambutnya diusap pelan oleh nyonya Lee yang kini juga menunjukkan tatapan khawatirnya.

Sebagai seorang ibu, nyonya Lee seakan berada di titik yang salah. Ia ingin menjadi seorang ibu yang selalu mendukung penuh mimpi anak-anaknya, ia ingin menjadi ibu yang membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang ia suka. Tapi, jika seperti ini keadaannya, ia juga khawatir. Obsesi Chan membuatnya sulit tidur karena rasa khawatir yang selalu melandanya.

"Kita tunggu Papi pulang. Kakak kamu lebih nurut kalo sama Papi." Iya benar, lebih baik ia menunggu suaminya pulang. Karena anaknya itu, selalu lebih patuh kepada suaminya.

Akhir-akhir ini Chan semakin sering menguras energinya. Durasi latihannya menjadi 2 kali lipat lebih banyak, sementara waktu tidur dan belajarnya berantakan. Selalu melewatkan jam makan, juga malas bersosialisasi. Benar-benar bukan seperti Chan yang nyonya Lee kenal dulu.

Tuan Lee pulang setengah jam setelahnya. Pria itu langsung memasuki kamar Chan dengan kunci cadangannya. Dia menemukan sang putra yang masih saja meliukkan badannya di hadapan cermin. Peluh sudah membasahi kaosnya, wajahnya pucat, ia kelelahan.

"Lee Chan!"

Si empunya nama menghentikan tariannya. Ia berbalik, menatap papinya yang melihatnya nyalang. "Papi, kenapa?"

"Berhenti. Kamu udah latihan berjam-jam. Istirahat, besok kamu ujian nasional. Kamu nggak boleh sakit," perintah tuan Lee tegas. Chan meringis, perasaan tak terima datang diiringi rasa lelah yang sejak tadi ditepisnya.

Tubuhnya seakan mengatakan jika ia sudah tidak mampu lagi. Seketika Chan disadarkan dan diingatkan. Kapan terakhir kali dia makan, sudah berapa lama dia berdiri di depan cermin ini, sudah berapa lama speaker itu menyala, dan berapa jam ia tidur hari ini hingga matanya terasa begitu berat.

Tapi, pikiran dan tubuhnya tak berjalan senada. Ambisinya mengajaknya untuk tetap menari, menari, dan menari. Tak peduli bahkan jika tubuhnya kini tak mampu lagi untuk berdiri. "Tapi Chan mau latihan, Pi."

"Kamu sudah. Belasan jam. Sampai lupa makan, lupa tidur, lupa belajar. Chan, kamu juga punya kehidupan." Tuan Lee tampak memohon. Ia meremas pelan kedua bahu kokoh Chan yang hari ini tampak lelah.

"Chan pingin jadi idol."

Tuan Lee mengangguk, "tahu, Papi tahu. Tapi kamu juga harus punya tujuan lain, rencana lain. Papi nggak masalah kamu mau jadi apapun, terserah kamu. Papi cuma bisa dukung dan terus dukung. Tapi tolong, jangan abai sama kesehatan kamu. Jangan bikin Papi, Mami, bahkan adik kamu khawatir."

Our Stories (SVT GS) ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora