Prolog

462 35 15
                                    

"Natasha!"

Seorang gadis berseragam biru putih menghentikan langkahnya sejenak. Menoleh ke belakang menjumpai sahabatnya berlari kearahnya.

"Lo harus cepet-cepet pergi dari sini!" Masih dengan nafas terengah-engah dia berseru panik.

"Kenapa, Cha?" tanya Natasha.

"Di depan gerbang banyak wartawan nungguin lo!"

"Sumpah?!"

Cewek yang dipanggil 'Cha' mengangkat kedua jarinya. "Sumpah!"

"Ada masalah apa lagi sih!? Kenapa mereka sampe nyamperin gue segala. Sialan!" umpat Natasha kesal dengan wartawan yang terus mengejarnya.

"Lo gak bisa keluar, Nat. Mereka memblokade gerbang. Bahkan guru-guru sama petugas keamanan gak cukup buat ngusir mereka."

Natasha menatap Icha- sahabatnya sejak mereka masuk kelas 7 hingga sekarang kelas 9.

"Kita lewat belakang, Cha."

"Lo yakin?"

Natasha mengangguk yakin, dia tidak ada pilihan. Meladeni wartawan sangat memuakkan untuknya. Tidak tau privasi.

Mereka berdua berlari melewati koridor yang telah kosong. Jika lewat belakang mereka harus menyebrangi halaman sekolah menuruni tangga untuk menuju lantai paling bawah, bukan hal yang tak mungkin mereka ketahuan.

"Gimana ini?" Icha panik sendiri, masih menyembunyikan tubuhnya dibalik tembok.

Sesekali melirik kearah gerbang yang masih ribut memanggil-manggil nama Natasha.

Natasha melepas tasnya mengeluarkan hoodie berwarna biru, memakainya lalu menaikan tudung hoodie sekedar menyembunyikan wajahnya.

"Gak perlu lari, kita jalan biasa aja biar mereka gak curiga. Tapi, kalo udah terlanjur ketahuan yang udah lari yang kenceng." Natasha memberi arahan pada Icha.

Icha mengangguk paham. "Siap?"

"Siap!"

Jantung keduanya berdebar, sebisa mungkin berjalan dengan normal. Mulai memasuki halaman sekolah, tetap saja mereka menjadi pusat perhatian karena hanya mereka murid yang tersisa.

"Pak biarkan kami masuk! Kami hanya ingin mewawancarai salah satu siswi!" seru salah satu wartawan.

"Silahkan, tapi tidak di wilayah sekolah ini! Kenyamanan siswa-siswi adalah tanggungjawab kami," jawab Bapak Kepala Sekolah tegas.

"Pak tolong izinkan! Natasha! Natasha!"

Natasha semakin menundukkan kepalanya saat namanya dipanggil. Icha menggandeng tangan Natasha melangkah lebih cepat sangat tidak tahan mendengar seruan mereka.

"Anak-anak!" panggilan dari belakang membuat keduanya mau tak mau berhenti.

Membalikkan tubuhnya, melihat seorang wanita parubaya menghampiri mereka.

"Lho belum pulang? Natasha mana?" Dia adalah Bu Heri guru kesiswaan.

Natasha mengangkat kepalanya sedikit menunjukkan jati dirinya. "Saya Natasha Bu."

"Lho ya Allah kenapa belum pulang? Pantes aja mereka pada ribut. Terus ini pada mau kemana?"

"Kita mau pulang lewat belakang Bu," jawab Icha.

"Belakang? Lewat kebun-kebun dong? Terus nanti ketemunya tetep jalan raya sama aja kalian ngelewatin wartawan itu."

Ucapan Bu Heri membuat mereka terdiam, membenarkan dalam hati. Memang mereka akan tetap melewati para wartawan itu. Tetapi, setidaknya mereka tidak langsung berpapasan. Sebelum terlihat mereka akan menghentikan salah satu taksi dipinggir jalan. Lalu melewati mereka tanpa terlihat. Iya, itu rencana mereka dari awal tidak tau akan berhasil atau tidak.

SWEET SEVENTEEN; Devano DanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang