10| Makan Malam Keluarga

81 4 1
                                    

Jalanan malam Ibu Kota Jakarta terlihat ramai lancar. Cahaya lampu menyorot terang sepanjang jalan. Aroma sate yang menggugah selera sejenak membuatnya ingin berhenti dan menghabiskannya barang sebentar. Namun, ia urungkan bila teringat apa tujuannya kesini.

Otaknya sedari tadi buntu akan mencari kemana 'kah dia? Sudah berkilo-kilo meter ia menghabiskan waktu berkutat dengan jalanan, tapi tidak ia temukan juga. Hanya satu yang bisa menjadi tujuannya sekarang, sekolah. Dimana lagi dia akan mencari jika bukan disana. Hanya orang bodoh memang yang akan bertahan di sekolah sampai malam begini. Namun, pemuda ini ingat cewek itu memang bodoh.

Liat saja saat dia berhasil menghentikan motornya dengan sempurna di depan gerbang sekolahan. Terlihat seorang cewek bersurai panjang duduk memeluk lututnya. Kepalanya tertunduk dalam diatas lututnya, hingga surainya jatuh ke depan. Pemuda itu turun dari atas motornya, mendekati cewek yang sekarang persis seperti menunggu sekolah dengan penampilannya yang sangat kacau.

"Natasha?" panggilnya pelan.

Cewek yang memang Natasha itu mengangkat kepalanya pelan. memperlihatkan mata merahnya yang sembab, bibir pucatnya yang bergetar pelan. Satu air matanya kembali lolos saat dia menemukan penolong sekaligus seseorang yang tak langsung membuatnya seperti ini.

Natasha bangkit dengan cepat dari duduknya, menatap pemuda itu dalam diam sekedar ia mematikan apa dia tidak salah melihat.

"Lo gapapa?" Pemuda itu kembali bertanya.

Tangisan Natasha pecah, dia berlari kencang menubruk badan laki-laki itu lantas memelukannya erat. Menenggelamkan kepalanya di dada bidang Devano tangannya meremas kuat hoodie hitam yang pemuda itu kenakan. Sesekali Natasha memukul punggung Devano melampiaskan apa yang ia rasakan.

"Lo jahat ...." Suaranya terdengar serak, isakan kecil tersemat lirih di akhir katanya. Pundaknya bergerak naik-turun, dengan suara tenggorokan yang seperti tercekat.

"Hiks ... Gu-gue takut."

Laki-laki itu merasa iba, ia merangkul pundak Natasha dengan satu lengannya. Mengusap punggungnya sekedar memberi ketenangan. Sepuluh menit berlalu tanpa sadar, mereka masih bertahan diposisi awal. Seolah mereka sama-sama mengatakan nyaman, sehingga tidak ada yang menolak. Tangisan Natasha sudah berhenti, pundaknya juga mulai bergerak tenang tidak seperti tadi yang membuat tangsinya terdengar menyiksa.

"Lo tidak akan seperti ini sampai pagi, 'kan?"

Natasha membuka matanya yang semula tertutup. Dia melepas pelukan dengan gerakan mendorong. Tangannya mengusap pipinya cepat, lalu memalingkan tatapannya enggan melihat cowok itu. Dia merasa malu, sifat manjanya mengapa harus hadir disaat yang tidak tepat.

"Khem- sorry," ucapnya sedikit gugup.

Lelaki itu mengangguk kecil, mengabaikan Natasha yang tengah sibuk dengan pipi merahnya. Dia berjalan ke arah motornya, memakai helm lalu menoleh ke arah Natasha yang hanya termangu diam membisu. Hembusan nafas pelan keluar dari hidungnya, cewek itu sepertinya memang bodoh.

"Naik!" pintanya pelan secara singkat.

Natasha menujuk dirinya sendiri. "Gue?"

Pemuda itu menggeleng. "Bukan kuntilanak di belakang lo."

Reflek Natasha melotot, berlari cepat mendekati Devano. Tanpa sadar menggandeng erat lengannya yang terjulut memegang stang.

"Jangan gitu gue takut," paruhnya.

Devano menggeleng pelan, ia mendorong kening Natasha dengan tangannya yang lain sampai gandengan tangan Natasha terlepas.

"Makanya jangan bodoh," ejek Devano, "cepetan naik!"

SWEET SEVENTEEN; Devano DanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang