25 | Kesepakatan

9 1 0
                                    

Suara tapak kakinya terdengar jelas ditelinganya sendiri. Melewati koridor yang sudah sepi. Natasha sengaja keluar paling akhir, selain agar tidak menjadi pusat perhatian. Dia juga tidak ingin ada yang tau dia mau kemana. Semua indranya sedari tadi bekerja keras mengawasi sekitar. Mencoba merasakan kehadiran orang lain selain dirinya. Kejadian 'penguntit' akhir-akhir ini membuatnya was-was.

Ini lebih gila daripada wartawan, gumamnya pada diri sendiri.

Jika masalah ini tidak bisa ia selesaikan sendiri. Mungkin ia akan menuruti Icha untuk minta bantuan Aldo— Papanya.

Angin sore menerpa lembut rambutnya kali pertama sampai ditempat ini. Pemandangan ibukota terlihat indah dari atas gedung sekolah. Langit sore dengan semburat jingga membentang indah dilangit atas. Natasha mendapati punggung seseorang yang lebih dulu tiba daripadanya. Seseorang yang dulu pernah dengan mudah ia sentuh, namun terpaksa asing sekarang.

Tak bisa Natasha tepis kenangan indah pada manusia didepannya. Masa kecil terindah yang mereka lalui, namun hanya diingat oleh Natasha adalah kenyataan paling sakitnya. Natasha yang mencoba mengubur semua kenangan dan janji-janji itu sendirian. Natasha yang kini dipaksa lupa pada seseorang yang tiap saat justru selalu ada dekat dengannya. Perasaan Natasha yang belum sempat ia jelaskan dipaksa mati oleh keadaan. Namun, itu lebih baik, karena perasaannya belum tumbuh sesubur itu hingga tak mungkin Natasha terluka terlalu dalam. Terlepas dari perasaannya, Natasha hanya kecewa ternyata hanya dia yang merindukan temannya.

"Nono, langitnya cantik banget! Liat burungnya! Sasa, pengen ikut terbang!"

Sepasang anak kecil tersenyum riang di tepi danau dengan pemandangan langit sore. Anak kecil dengan dua ikat rambut dikepalanya membentangankan tangan, berlari dengan tawa lepas memperagakan seolah ia terbang tinggi.

"Ayo Sasa kita terbang! Wiuuhh!" Seorang anak laki-laki turut membentangkan tangannya, berlari kencang mengejar anak perempuan itu.

Keduanya tertawa riang saling mengejar, siapa yang paling cepat larinya adalah yang paling tinggi mereka terbang.

"Nono, cepet banget terbangnya." Sang anak perempuan berhenti berlari, tergeletak lelah diatas rerumputan hijau. "Sasa, gak sanggup ngejarnya."

Anak laki-laki itu segera mendekat turut merebahkan badannya disamping Sang Anak Perempuan. "Karena kalo udah gede nanti Nono pengen ajak Sasa terbang beneran. Jadi Nono harus cepet terbangnya biar bisa bawa Sasa."

"Kita bakal pergi ke bulan?" Antusiasnya.

"Iya, kita bikin rumah disana." Keduanya tertawa membayangkan mimpi-mimpi mereka.

Natasha berkedip sampai tak sadar air matanya jatuh. Kenangan itu terlintas didalam ingatannya. Buru-buru ia menghapus air matanya. Tersadar tak seharusnya ia menangis kembali. Bukankah Natasha sudah bertekad melupakannya?

"Kak." Suara lirih Natasha memanggilnya.

Devano menoleh, mata hitam gelap sedingin lautan lepas yang terlihat hampa menatap mata coklat madu seindah langit sore ini. Keduannya dilema dalam keheningan sesaat. Memberi waktu untuk saling mematap indah ciptaan-Nya.

Devano terkunci ditempatnya, belum pernah ia melihat seseorang seindah ini. Atau karena efek langit sore ini yang menjadikan gadis didepannya terlihat berkali-kali lebih indah dari biasanya? Tidak bisa Devano berpaling. Dadanya berdesir pelan tak kala ia semakin terlena akan teduhnya mata itu menatapnya.

Natasha menelan savilanya, bertanya pada dirinya sendiri mengapa mendadak secanggung ini. Mengapa tatapan dingin itu bak membekukan sekitarnya. Namun, hampir sanggup meluluh lantakkan benteng yang selama ini ia bangun dihatinya. Mengapa menjadi serumit ini menyusun kata diujung lidah?

"Kak, ada yang mau gue bahas." Susah payah kalimat itu memecahkan suasana mereka.

Devano membuang pandangannya, berhasil mengendalikan dirinya kembali.

"Apa?"

Natasha menunjukan gambar dirinya dan Devano yang di ambil dari jauh. Gambar itu masih ada di akun sosial media sampai sekarang. Namun, alasan kebohongan yang mereka percaya membuat foto itu tidak lagi seviral kasus kemarin.

"Gue gak tau apa motivasi orang itu mempaparazi kita, yang pasti niatnya udah pasti buruk. Lama-lama dibiarin itu bisa ngerusak nama baik gue dan lo," Natasha menjelaskan.

"Terus?"

Natasha menghela nafas, ia pikir Devano punya solusi. "Lo orang penting disini. Koneksi lo banyak. Lo gak bisa cari orang ini sampai benar-benar tuntas masalahnya, Kak?"

"Waktu gue gak sepenting itu buat nyari dia."

Natasha melongo tak percaya dengan jawabannya. "Foto tadi gue jelasin ke mereka kalo itu abang gue. Dan untungnya mereka percaya. Suatu saat nanti kalo kejadian ini keulang lagi kebohongan apa lagi yang bakal gue kasih?"

"Tinggal bilang lagi aja kalo itu abang lo."

"Kalo di foto itu ada muka lo, gue bakal tetep bilang juga kalo itu abang gue?!" tanya Natasha geram.

Devano terdiam sesaat, hingga perkataannya mampu membuat Natasha tertohok. "Emang kita bakal jalan lagi setelah ini?"

Hening, sekarang Natasha yang terdiam. Benar juga, jika dia menghindar dari bertemu Devano kejadian ini tidak akan terulang lagi. Semudah itu solusinya. Tapi, mereka masih satu gedung sekolah. Apa akan semudah itu juga untuk tidak bertemu?

"Lo mau kita jalan lagi?"

"Enggak! Gue cuma khawatir penguntit tadi punya foto muka lo di mall kemarin yang bakal bongkar kebohongan gue," sergah Natasha tak terima ditudung pertanyaan seperti itu.

"Kalo lo ga mau bantuin gue. Biar gue selesain masalah ini sendiri," sambung Natasha. "Satu lagi kalo pacar lo tau foto itu jelasin kalo itu bukan lo atau lo jelasin kenapa kita bisa jalan bareng. Gue gak sudi di tuduh pelakor," tekan Natasha.

Ia membalikkan badan ingin beranjak pergi dari tempatnya. Pembicaraan ini tidak menemukan titik terang. Sia-sia waktu Natasha untuk bicara pada manusia yang hati dan pikirannya sudah dingin. Sedikit ia hentakan kakinya ke lantai bermaksud menunjukan kekesalannya.

"Tunggu!"

Natasha tidak berhenti, ia terus pergi menuruni tangga. Langkah kaki mengejar terdengar dibelakang. Tak membuat Natasha berniat menghentikan langkahnya. Hingga Devano mengejar Natasha sampai di koridor.

"Gue bakal bantuin lo!"

Reflek Natasha berhenti, meski ragu mempecayainya tapi ia ingin mendengarnya sekali lagi.

"Apa?"

"Gue bakal bantuin lo." Devano berhenti dihadapan Natasha, menghalangi jalannya. "Tapi, dengan satu syarat."

Natasha tersenyum sinis, "Minggir! Gue gak tertarik bernegosiasi sama lo."

"Gue bantu lo. Lo bantu gue," ucap Devano menatap Natasha seolah memaksa.

Natasha geram, jika dia masih butuh bantuannya. Mengapa baru sekarang, setelah ia sakit hati dengan omongan pemuda itu.

"Apa?"

"Bantu gue siapin ulang tahun Laura."

Bagus Nat, sakit lo bertambah dua kali lipat. Menyesal Natasha bertanya.

"Kalo gue tolak?"

"Gue yakin lo gak akan nolak."

Benar, tidak ada alasan untuk Natasha menolak. Ini cuma acara ulang tahun, apa sulitnya. Mungkin ini juga akan menguntungkannya? Natasha tidak perlu lagi meminta bantuan Papanya.

"Kapan?"

"Besok."

Natasha mengangguk, ia mengulurkan tangannya. "Lo bantu gue. Gue bantu lo. Deal?"

Devano menatap tangan Natasha dan wajahnya bergantian. Diterimanya uluran tangan Natasha, ia mengiyakan kesepakatan mereka. Kesepakatan yang justru mengubah apa yang harusnya terjadi. Kesepakatan yang mungkin akan Natasha sesali dikemudian hari.

.

.

.

Next!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SWEET SEVENTEEN; Devano DanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang