Chapter 15

22.7K 3.7K 1.3K
                                    

Haloo... Luka Cantik balik lagi 🙌🏻💃 Maaf ya, sempet lupa ternyata udah memasuki hari ke delapan dari terakhir update. Terlalu asik nulis Convincing You antara Rion dan Allea sampe hari berasa cepet banget kerasanya 😂😂

Chapter ini mengandung sedikit adult content, jadi disarankan bacanya setelah buka puasa. Sedikit kok, cuma ada 🤭 Aku kebetulan hari ini lagi halangan, jadi bebas saat nulisnya 😂 And ... mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu 🙏🏻




Happy Reading


***
Mobil sport itu melaju cepat ke dalam ketika gerbang menjulang tinggi itu terbuka. Aiyana ditinggalkan begitu saja setelah diusir Rafel dari mobil tanpa perasaan. Ia menyentuh bahunya yang ditabrak lelaki itu, sakit, tetapi aliran senyum malah terbit di bibirnya. Luka bekas guyuran air panas di kulit ternyata tidak sesakit itu. Hatinya lebih terasa sesak sekarang, hingga tidak tahu kalimat apa yang bisa digunakan Aiyana untuk mendeskripsikan. Seluruh luka yang tercipta di tubuhnya, bahkan tidak secuil pun bisa disejajarkan. Masih jauh sekali rasanya.

Aiyana menoleh ke arah jalanan yang gelap. Jika mampu, rasanya ia ingin sekali melarikan diri dari tempat antah berantah ini dan menyusul Bapaknya ke Rumah Sakit. Dunia luar tanpa kehadiran beliau memang sangat tidak adil dan terlalu kejam. Sudah berusaha beradaptasi, tetapi manusiawi bukan jika sesekali ia sedih dengan keadaan ini?

Mengembuskan napas lelah, ia mendongakkan kepala menatap hamparan bintang di langit malam—sambil menahan air mata yang sudah memenuhi setiap sudut netra agar tidak jatuh. Tidak seharusnya ia selemah ini. Di masa mendatang, pijakan terjal masih akan sangat panjang untuk dilewati. Sebaik apa pun lelaki itu merawatnya, tidak akan pernah mengubah fakta kalau dia sangat membenci keberadaannya. Aiyana tidak juga lupa, bahwa alasan dirinya di sini itu untuk dihancurkan.

"Nona Aiyana, silakan masuk," Ajudan Rafel yang sempat meminjamkan jas, kini berdiri di sampingnya dan mengulurkan tangan ke arah gerbang. "Tuan Rafel menyuruh Anda agar segera masuk."

Aiyana berdeham, membasahi tenggorokan yang serasa dicekik, lalu tersenyum hangat padanya seolah kesedihan yang dirasakannya bukanlah apa-apa. "Aku harus naik mobil mana?" Ia menunjuk mobil tamu dari Rafel dan mobil yang digunakan ajudan itu. "Yang ini, atau punya kalian?"

"Maaf Nona, tapi Anda disuruh untuk berjalan kaki saja."

"Apa? Jalan ... kaki?" Aiyana memastikan, tidak ingin memercayai awalnya. "Tapi kan, dari sini sampe ke rumah utama lumayan jauh ya. Terus, kalian juga ada dua mobil. Kenapa kita tidak sekalian masuk?"

Terlihat berat, ajudan itu mengangguk pasti. "Betul, Nona, tapi tuan Rafel menitahkan kami seperti itu. Beliau menyuruh Anda untuk jalan sampai ke rumah utama."

"Kenapa?" Aiyana kembali bertanya. "Dia nggak mau aku mengotori mobil kalian ataupun mobil wanitanya ya?"

"Maaf, kami tidak tahu."

Aiyana sempat diam, meremas-remas ujung bajunya sambil menerawangkan pandangan ke arah dalam. Halaman itu sangat luas, cukup lumayan jauh jika dilalui dengan berjalan kaki. Sementara ia merasa tubuhnya lemas sekali malam ini. Ia merasa setengah nyawanya masih tertinggal di Rumah Sakit.

"Kenapa ya? Padahal kalian ada mobil," gumamnya, sambil tersenyum getir. "Ya sudah, aku jalan. Dadah, Pak."

Dengan langkah gontai dan kaki terpincang-pincang, Aiyana masuk ke dalam. Ia tidak memiliki cukup tenaga lagi untuk memprotes, malam ini, rasanya terlalu melelahkan.

Beautiful PainWhere stories live. Discover now