Chapter 18

24.6K 3.8K 1.3K
                                    

Haloo... siapa yang masih nunggu babang Rafel dan si ceriwis Aiyana? 🙌🏻

Minal Aidin wal Faizin ya, mudah-mudahan kita semua diberi kesehatan sehingga masih bisa bertemu dengan lebaran di tahun depan 👐🏻 🤝

Gimana lebarannya? Aku sih kaum rebahan yang lebih banyak piknik di pulau kapuk ya 🤭🤭

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu.



Happy Reading

***
Bertumpu pada dinding dengan langkah agak sempoyongan, Rafel berjalan menuju kamar Aiyana.
Mungkin karena ia agak mabuk, otaknya tidak berfungsi cukup baik hingga berpikir untuk menjadikan gadis pembunuh itu sebagai istrinya. Ia tidak bisa memikirkan kandidat lebih menyebalkan daripada gadis itu. Tidak ada manusia paling memuakkan sekaligus paling aneh di muka bumi ini kecuali dia. Jika Ayahnya tahu calonnya siapa, Henrick barangkali bisa saja membunuh keduanya. Lelaki itu memiliki temperamen yang sangat buruk, padahal sudah tua bangka. Buah jatuh memang tidak akan jauh dari pohonnya.

Tepat di depan pintu kamar yang ditempati Aiyana, Rafel berhenti, memukul berulang kali kepalanya yang terasa pening gara-gara terlalu banyak minum alkohol selama dalam perjalanan di mobil tadi. Sialan...

Dirasa sudah cukup kuat untuk melanjutkan langkah lagi, tanpa segan Rafel membuka pintu kamar Aiyana sambil memegang kertas pesan yang diberi olehnya. Belum sampai ke dekat ranjang, tumben sekali gadis itu terbangun dan dia terlihat kaget melihat kedatangan Rafel yang dengan lancang memasuki kamar. Dia langsung duduk, mengucek-ngucek kedua matanya memastikan tidak salah lihat.

"Tuan, untuk apa ada di kamarku tengah malam begini? Apa tuan salah masuk kamar? Kan kamar tuan ada di sebelah sana," sambil menunjuk arah kamar Rafel. "Tuan baru pulang ya?"

Rafel tetap menghela langkah kian mendekati, tidak memedulikan beruntun pertanyaan heran Aiyana.

"Tuan denger nggak? Bisa tolong keluar? Tuan salah masuk kamar. Ini kamarku!" Aiyana bergeser ke ujung kasur sisi terjauh, kesadaran kini sepenuhnya sudah terkumpul.

"Siapa bilang ini kamarmu?" Rafel mendesis, suaranya terdengar serak. "Seluruh ruangan di rumah ini, adalah milikku. Kamu itu cuma menumpang, Aiyana, you don't own anything here!"

"Mulai deh, begaya pake bahasa enggres," gumamnya, sebal. "Aku tahu ini rumahmu, tapi bukan berarti tuan bisa seenaknya masuk ke dalam kamar yang berpenghuni. Tuan yang menempatkanku di sini."

Rafel naik ke atas ranjang, Aiyana baru akan melompat, tetapi gerakan Rafel jauh lebih cepat dan kuat sambil menarik tubuhnya dengan mudah untuk mendekat.

Berteriak, Aiyana terkejut luar biasa mendapatkan sergapan tiba-tiba lelaki tinggi tegap itu. Berusaha meronta dan meloloskan diri, tetapi tangan Rafel yang menahan pinggangnya membuat ia kesulitan bergerak.

"Lepaskan! Tuan mau ngapain sih? Lepaskan!"

"Aku perlu bicara,"

"Ya udah, kalau mau bicara jangan kayak begini dong caranya. Bisa biasa aja nggak?"

Rafel menggeleng, "Nggak bisa. Nggak mau."

Aiyana menoleh lewat bahu, sementara kedua tangannya berpegangan pada ujung ranjang. "Yeee, dibilangin ngeyel. Mau bicara, ya ngomong, bukan narik-narik gini. Lepasin nggak?!"

Dia kembali menggeleng, membuat Aiyana mengernyit melihat lelaki itu tampak berbeda dari biasanya.

"Tuan ... mabuk?"

"Aku nggak mabuk!" Dia menyentak tidak terima.

"Tuan biasanya harum banget, tapi sekarang tuan bau. Ini bau alkohol, kan?"

Beautiful PainWhere stories live. Discover now