Chapter 23

17.4K 3.4K 614
                                    

Haloo... siapa yang dari kemarin nunggu update-an?

Maaf ya, dua minggu lebih aku nggak muncul. Dua minggu lalu Nenekku meninggal, dan itu sangat mendadak banget bikin semua keluarga terpukul. Dan jujur, aku nggak nyangka beliau akan pergi secepat ini. Lalu satu keluarga sakit, Mama, adik-adikku. Dan Mamaku yang paling ngedrop karena kepergian Nenek. Demam, flu batuk, badan sakit-sakit, hilang indra penciuman, dan printilannya. Akhirnya aku pun memaksakan pulang ke Serang walau sedang dalam kondisi PPKM pake angkutan umum, karena kalau kendaraan pribadi banyak yang diputar balik katanya. Bersyukur semuanya sekarang sudah membaik, aku pun bisa pulang lagi ke Jakarta dalam keadaan sehat. Sudah diswab, dan hasilnya alhamdulillah negatif. Kalian juga tolong jaga kesehatan dan tetap patuhi protokol kesehatan yaa 🙏🏻 semoga cerita ini bisa sedikit menghibur kalian.


Happy Reading



***
Ancaman Rafel terdengar serius, tidak memutus tatapan kejam dari Laura yang sudah membeku di tempatnya. Dua tangan masih sama keras terkepal, bertumpu pada meja dengan raut yang tidak melunak sedikit pun.

"Aku tidak akan pernah tinggal diam jika salah satu di antara kalian mengusik kehidupanku dan Aiyana. Jadi, sebelum bertindak, sebaiknya dipikirkan dulu!" hardiknya.

"Rafel, kenapa kamu harus semarah ini? Aku tidak berniat jahat sedikit pun pada Aiyana. Aku hanya mengatakan kebenarannya." Laura berusaha menjelaskan, meski Rafel seakan siap menerkam. "Lagipula, salah siapa kamu berbohong tentang status keluarga anak itu? Jika miskin, ya miskin saja. Sangat malu hingga tidak mampu untuk mengatakan kebenaran?"

"Nona, maaf menyela, tapi urusannya dengan kamu apa? Sepenting itu kah status keluargaku untukmu? Aku bingung deh." Aiyana menimpali enteng sambil menggaruk pipi, saat Rafel baru akan membuka mulut. "Yang ingin kunikahi kan lelaki ini, bukan Bapak Nona."

Rafel tersedak saliva, langsung menoleh ke arah Aiyana tak menyangka. Ia tahu bocah itu memang kurang ajar terhadapnya, tapi di hadapan mereka, ini cukup mengejutkan. Pun dengan keluarga lain yang amat syok mendengar sahutan gadis itu yang mengalir tanpa beban. Beberapa ada yang memilih menunduk, untuk menyembunyikan kuluman senyum geli mereka.

"Setelah aku pikir-pikir lagi, beneran tidak akan mempengaruhi kehidupan Nona Laura." Aiyana mengibas-kibaskan tangan. "Nona jangan khawatir lagi ya. Aku jadi tidak enak dikhawatirkan seperti ini. Aku tidak sepenting itu."

Rafel memerhatikan Aiyana yang terlihat santai, dia tidak tampak tersinggung sama sekali. Dengan raut polos dan bodohnya, bisa-bisanya dia memikirkan hal itu.

"Apa?!" Laura menyentak, tidak terima. "Beraninya kamu mengatakan itu. Mulut kamu benar-benar lancang. Sangat tidak pantas. Untuk apa kamu membawa-bawa Bapakku?!"

"Nona, apa menurutmu pantas mencari tahu asal-usulku seperti ini?" Aiyana masih sangat tenang, pelan. "Maaf, walaupun aku miskin, tapi melanggar privasi orang itu sangat lancang. Apalagi jika digunakan untuk mempermalukan orang. Jujur, aku pribadi tidak masalah. Tapi, mengetahui hal ini dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan dan kaya raya, rasanya terlalu lucu untukku. Seperti tidak ada kerjaan."

Rosalind bangkit dari kursi makan, menghentikan keributan itu. "Rafel, sebaiknya tenangkan dirimu. Nenek rasa, apa yang dikatakan Laura ada benarnya juga. Paling tidak, sekarang kami sedikit tahu asal-usul Aiyana. Nenek juga bisa memahami mengapa dia tidak berkuliah, bisa jadi karena keterbatasan biaya keluarganya." Ia membela Laura.

"Itu betul, Nek. Memang karena keluarga kami tidak memiliki cukup biaya. Untuk makan saja susah, apalagi berkuliah? Sementara otakku tidak cukup pintar untuk mengambil beasiswa." Aiyana membenarkan.

Beautiful PainDonde viven las historias. Descúbrelo ahora