Part 23: Wake Up

589 92 0
                                    


Singto membuka matanya. Ia terbaring di tempat tidur dan memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Ia menoleh ke samping tempat tidurnya dan menemukan 2 pilot junior yang dilatihnya sedang menunggunya bangun.

"Kak Singto sudah bangun?", ucap seorang Neutrum yang bertubuh ramping dan sangat cantik dengan rambut sebahunya. Ia bernama Jin Eunsoo, warga negara Korea Selatan yang ditugaskan menjadi pilot di markas China.

"Hei kak Singto sudah bangun! Cepat panggil dokter, Eunsoo-ya", kata seorang laki-laki setinggi 189 cm, dengan tubuh kekar dan tato di sepanjang lengannya. Ia merupakan partner Eunsoo.

Eunsoo pun segera berlari keluar dari kamar untuk memanggil dokter.

"Seungho.", panggil Singto kepada laki-laki yang ada di dekatnya itu.

"Iya kak Singto? Apa kau perlu bantuan?"

"Berapa lama aku tidak sadar?"

"Sekitar 4 hari. Kakak mengalami cidera otak karena benturan dan karena mengendalikan Krieger seorang diri."

"Dimana Krist?"

Belum sempat Seungho menjawab, Eunsoo telah kembali bersama dokter yang langsung mengecek keadaan Singto. Dokter itu pun tidak menyangka Singto akan pulih secepat itu setelah sempat mengendalikan Krieger seorang diri.

"Bagaimana dok?", tanya Eunsoo.

"Dia telah sepenuhnya sadar, tetapi ia tidak boleh banyak bergerak dulu selama masa pemulihan. Saya akan melakukan pengecekan lagi besok."

"Baik dok, terima kasih.", ucap Eunsoo dan Seungho sembari membungkuk sebagai tanda terima kasih ketika dokter itu meninggalkan ruangan.

"Aku tanya dimana Krist?", ucap Singto.

"Kak Sing, kau jangan terlalu banyak pikiran dulu. Kau masih dalam proses pemulihan.", jawab Seungho.

"Mengapa aku tidak boleh memikirkan Krist? Memangnya dia kenapa?"

Eunsoo dan Seungho sama-sama hening. Singto pun memaksa bangun dari tempat tidurnya yang langsung dicegah oleh Seungho, "kak Sing, apa kau tidak dengar kata dokter tadi? Kau belom boleh banyak bergerak."

"Jika kau tidak mau mengatakan dimana Krist, aku akan mencarinya sendiri!", ucap Singto yang masih nekat ingin berdiri.

"Kak.. Kak.. Tolong jangan banyak bergerak dulu. Tidak ada gunanya juga kak Sing menemui kak Krist sekarang.", jawab Eunsoo secara refleks, lalu ia kembali terdiam.

Singto menatapnya, mempertanyakan apa maksud dari ucapannya. Seungho menyela, "kak Krist sedang koma.", Singto terkejut dan membelalakkan matanya. "Jelaskan maksudmu!"

"3 hari yang lalu, kak Krist tidak dapat bernapas tanpa bantuan peralatan. Sehingga dokter menyatakan ia sedang koma karena cedera parah yang dia alami di batang otaknya, ditambah dengan adanya peradangan. Dokter pun tidak dapat memastikan kapan kak Krist akan bangun."

Singto tak kuasa menahan air matanya dan menangis. "Aku harus melihatnya sendiri.", ucap Singto yang masih nekat untuk berdiri. "Aku tidak percaya jika tidak melihat langsung."

"Kak Singto..."

Singto yang tetap memaksa untuk melihat Krist akhirnya mendapat izin dari dokter. Ia duduk di kursi roda, diantar oleh Eunsoo dan Seungho menuju ke ruangan Krist yang tidak jauh dari ruangan Singto.

Ketika pintu ruangan Krist dibuka, Singto melihat seorang wanita paruh baya dan seorang pria seusianya sedang menunggu di dalam ruangan Krist.

"Apa kau, Singto?", tanya wanita itu.

Singto mengangguk. "Aku Magie, ibu angkat Krist. Dan ini anakku, Henry. Krist sering cerita tentangmu kepada kami."

"Krist juga sering bercerita tentang kalian. Bibi, dimana Krist?"

Magie tak kuasa menahan tangisnya dan akhirnya pergi meninggalkan ruangan bersama Henry. Eunsoo dan Seungho mendorong kursi roda Singto melewati tirai putih yang membatasi ruangan, sehingga Singto pun dapat melihat Krist yang sedang terbaring di tempat tidur dengan berbagai macam peralatan melekat di tubuhnya. Eunsoo dan Seungho pun meninggalkan ruangan, memberi waktu bagi Singto.

"Krist, aku disini."

Singto menggenggam tangan kiri Krist, cincin yang ia berikan di hari anniversary pertama mereka masih melingkar di jari manis Krist. Singto menggenggam tangan Krist dengan kedua tangannya, "Krist. Bangun. Aku mohon...", air mata Singto menetes tak tertahan. Krist hanya terlihat seperti sedang tidur pulas, Singto tidak mempercayai bahwa kekasihnya itu kini sedang dalam keadaan kritis. "Aku akan tetap disini menunggumu bangun, Krist."

***

1 bulan... 2 bulan... 4 bulan berlalu, Singto sudah dinyatakan sembuh total. Ia sudah dapat kembali berjalan normal tanpa bantuan kursi roda. Tetapi, Krist masih dalam kondisi yang sama seperti 4 bulan yang lalu.

Singto tetap setia menemani Krist, setiap hari ia mengunjungi Krist. Ia selalu menceritakan apapun yang terjadi padanya, persis sama seperti ketika Krist masih bersamanya di markas. Ketika Singto kembali pulih, ia membantu Magie untuk merawat Krist. Ia mengelap tangan dan kaki Krist setiap harinya.

Biaya untuk menjaga peralatan life support tetap melekat pada Krist tidaklah murah. Dokter pun mengatakan bahwa apabila peralatan itu dilepas, kemungkinan Krist tidak akan survive. Dana bantuan dari pemerintah atas ganti rugi kecelakaan yang dialami Krist hanya sanggup menutup biaya perawatan selama 2 bulan. Dokter Magie telah menjual berbagai aset yang ia miliki untuk membayar biaya peralatan life support untuk Krist. Hingga dokter Magie pun mengalami kesulitan dalam keuangannya.

"Bibi, biar aku yang tanggung seluruh biayanya.", ucap Singto kepada Magie. Singto pun mengeluarkan seluruh tabungan yang dimilikinya, yang kemungkinan hanya sanggup untuk menutup biaya selama 3 bulan ke depan. Jika Krist masih belum bangun hingga saat itu, Singto rela melakukan apapun untuk mempertahankan peralatan life support itu tetap melekat pada Krist, meskipun ia harus mengemis pada kakeknya.

6 bulan berlalu....

"Krist, sekarang aku bekerja di markas sebagai pelatih pilot junior, mungkin aku akan bekerja dari pagi hingga sore tapi malamnya aku pasti kembali kesini. Oh ya, tadi aku lihat Alpha-1 sudah diperbaiki, persis seperti baru." Singto menatap Krist yang tidak meresponnya sama sekali itu.

"Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan membiarkan mereka melepas satu pun alat bantumu. Jangan khawatir." Singto tersenyum sembari meneteskan air matanya, "just wake up soon, sleeping beauty."

Magie yang merasa iba melihat Singto akhirnya mengajaknya berbicara, "Singto, apa kau sudah makan malam? Mau menemaniku makan malam di kantin? Biar Henry yang menunggu Krist disini."
Singto mengangguk dan mengikuti Magie.
Ketika mereka telah selesai makan malam, Magie mengatakan suatu hal yang selama ini mengusiknya "Nak Singto... Kau tahu kau tidak harus melakukan ini."

"Apa maksud bibi?"

"Krist itu tanggung jawabku, bukan tanggung jawabmu. Aku hanya tidak tega kau harus seperti ini. Kau boleh pergi, nak. Kau masih muda, masih bisa mencari orang lain. Kau tidak perlu terlibat dalam hal ini."

"Bagaimana bisa bibi mengatakan seperti itu? Bagaimana bisa aku mencari orang lain jika aku hanya mencintai Krist?", nada bicara Singto mulai bergetar dan matanya berkaca-kaca, menahan air matanya keluar. Sementara Magie sudah menangis tersedu-sedu. "Aku hanya tidak bisa melihatmu mengorbankan masa mudamu seperti ini, kau masih punya masa depan."

"Apa gunanya masa depanku tanpa Krist? Bibi, aku mohon padamu tolong jangan menyuruhku pergi. Aku sudah berjanji padanya... Apapun yang terjadi.", hingga akhirnya Singto tak tahan dan menangis tersedu-sedu. Magie pun sadar bahwa dirinya tidak dapat memaksa laki-laki itu untuk pergi, karena ia ingin tetap tinggal dan menepati janjinya.

The Solar HollowDonde viven las historias. Descúbrelo ahora