04 • Lebaran 1

2K 206 91
                                    

“Kak Atlas, senyum.” Abel menarik pelan kedua pipi Atlantas. Berupaya keras membuat sang tunangan agar tersenyum saat di foto nanti.

“Kayak gini. Angkat bibirnya ke atas, terus tahan beberapa detik.” Abel mempraktekkan senyuman ala dirinya kepada Atlantas yang bersandar di dinding.

“Harus banget?” tanya Atlantas. Terdengar sedikit malas.

“Ya, harus! Ini foto pertama lebaran kita dengan keluarga besar.”

“Ck. kita pulang aja.”

“Kak Atlas ...,” rengek Abel dengan kedua mata yang berkaca-kaca. “Kok, pulang, sih? Kak Atlas belum makan masakan Abel, loh. Abel masak opor sama rendang tau.”

“Bungkus aja.”

“Ya, nggak bisa gitu dong. Kita harus sungkeman, makan, foto-foto, baru deh pulang.”

“Bella ....”

Please, ini tradisi sejuta umat. Abel nggak mau kelewatan momentum kayak gini. Tapi, kalau kak Atlas emang mau pulang, pulang aja duluan. Abel mau di sini sampai acaranya selesai.”

Atlantas berdecak. Mau tidak mau, ia harus mengikuti perkataan Abel juga.

“Oke, aku bakalan tetap di sini sampai acaranya selesai. Puas kamu?”

“Tentu saja.” Abel tersenyum lebar.

Tidak akan Atlantas biarkan Abel berkeliaran di rumah sebesar ini sendirian tanpa ada pengawasan langsung dari dirinya. Sebab, bagaimana pun juga sepupu-sepupu Abel itu banyak berjenis kelamin cowok. Tidak menutup kemungkinan kalau salah satu diantaranya ada yang naksir dengan Abel. Apalagi Abel itu tipikal cewek yang mudah berbaur dan murah senyum. Cowok mana saja pasti merasa nyaman dan terpesona.

Membayangkannya saja sudah membuat kepala Atlantas mendidih.

“Kita samperin Mama kamu,” ucap Atlantas. Tangannya melingkar di pinggang Abel dengan posesif.

“Jangan. Kita ke belakang rumah aja. Saat ini Mama pasti lagi sibuk urus ini-itu, kalau Abel ke sama pasti di suruh bantuin.”

“Itu lebih bagus.”

“Bagus apanya. Kak Atlas belum tau aja kalau bantu Mama itu selain capek fisik, Abel juga merasakan capek mental.”

Atlantas hanya tersenyum tipis sedangkan Abel merenggut kesal.

“Kalau di dapur, nggak banyak cowok yang lihat kamu,” bisik Atlantas membuat Abel bersemu.

Sesampainya di belakang rumah, lebih tepatnya di rumah kaca. Abel duduk di salah satu kursi panjang. Di sisinya ada Atlantas yang sibuk mengelus-elus pelan punggung tangannya—entah untuk apa.

Abel mendesah pelan. Ia jadi bingung mau membicarakan apa dengan Atlantas.

“Kak,” panggil Abel.

“Hm,” sahut Atlantas.

“Abel jadi kepikiran mau punya rumah sendiri di Bandung, deh.”

“Bukannya kita udah punya?”

Abel menggigit bibir bawahnya. Yang dikatakan Atlantas benar. Ia dan Atlantas sudah memiliki rumah yang cukup besar di Bandung. Rumah itu kerap mereka tempati saat pekerjaan Atlantas memang lagi di Bandung.

“Gimana, ya. Abel mau punya satu lagi. Yang dekat sama pantai tapi.”

“Nanti kita cari rumahnya. Mungkin beberapa kenalanku punya relasi rumah-rumah di sekitar pantai.”

Atlantas & ArabellaWhere stories live. Discover now