36

1.2K 140 12
                                    

Kekalahan memang menyakitkan, akan tetapi tidak seharusnya hal tersebut diratapi dengan terlalu berlebihan. Bambang Pamungkas.

-Dinda Cahaya Anandya-

...

Jihan berdecak kesal. Ini sudah kesekian kalinya permen miliknya dimakan oleh Hera yang seakan tak memiliki rasa bersalah sama sekali. "Heh, Lo bisa nggak sih, stop ngabisin permen kesayangan Gue?! Miskin Lo ampe nggak bisa beli?" Serobotnya seraya mencoba melindungi plastik berisi banyak permen.

"Gratis lebih enak." Hera pun membalas protesan gadis itu dengan amat santai.

"Sialan!"

Bumi menyeruput minumannya dengan perlahan, kelihatannya Ia begitu santai namun sebenarnya di otaknya sedang memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi dan rencana yang harus dilakukan untuk saat ini secepatnya. "Kita harus cepat menyelamatkan Zalen, entah mengapa firasat Gue buruk kalau Kita telat sedetik aja." Tuturnya dengan ekspresi serius.

Gyova mengangguk mengiyakan, "Bumi benar. Yang Gue lihat sekilas di sana sebelum pergi Gue ngeliat banyak botol yang isinya minyak tanah ditumpuk di pojokan lantai dua. Gue takut kalau Mereka rencanain pembakaran di gedung itu di saat Zalen nggak bisa melawan kayak biasanya."

"Hm, apalagi, coba Kalian pikir, ini udah tiga hari setelah penculikan dan Dia nggak dikasih makan dan minum, ditambah selalu disiksa. Bukannya Gue bermaksud membuat kesan negatif, cuma Gue mencoba berpikir secara realistis." Sahut Dylan dan disetujui oleh Yama.

Azka menghela napas berat, Ia pun menatap teman-temannya dengan sorot penuh arti. "Yang terpenting sekarang Kita buat rencana secepatnya dan jangan sampai Kita telat untuk nyelamatin Queen Switz. Karena sekalinya Kita gagal, maka tim ini sama aja nggak ada artinya dan Kita akan dicap tim rendahan dan nggak berguna di Pasific. Gue nggak mau itu terjadi seumur hidup Gue."

Andra menepuk bahu Azka dan tersenyum miring, "Kita pasti berhasil. Gue pastiin itu."

"Kekalahan memang menyakitkan, akan tetapi tidak seharusnya hal tersebut diratapi dengan terlalu berlebihan. Bambang Pamungkas." Gumam Dinda dengan tatapan yang tak pernah sekalipun teralih pada seekor burung yang hinggap di sebuah pohon.

Baru saja Avva ingin berbicara, sebuah ketukan pintu mengalihkan atensi Mereka semua.

"Gue aja yang buka pintunya." Ujar Bara dan diangguki oleh beberapa dari Mereka.

Laki-laki berjaket denim itu berjalan dengan langkah panjang menuju ke arah pintu utama dan membukanya secara perlahan. Takut-takut jika ada musuh yang tiba-tiba menyerang. Namun, tubuhnya seketika membeku saat dua orang yang tak Ia pikirkan sama sekali ada di hadapannya sekarang dengan tatapan datar.

Merekalah Angkara dan Raka.

Sang ketua Pasific menyeringai, "Halo, anggota baru!" Sapanya dengan ekspresi yang selalu Ia tampilkan pada semua orang. Ekspresi penuh kelicikan.

"Bisa Kita masuk? Ada yang harus dibicarain." Ucap Raka tanpa basa-basi.

"Siapa, Bar?" Tanya Clarissa yang sayangnya tak digubris sama sekali oleh sang pemilik yang Ia ajak bicara. Namun sama seperti apa yang Bara lakukan, langkah Clarissa seketika memelan dan akhirnya berhenti. Keningnya seketika menampilkan kerutan di wajahnya.

"Angkara sama Raka, kan? Anggota inti sekaligus ketua Pasific?"

Raka mengangguk, "Hm. Zalen udah kasih tahu?"

"Udah. Bahkan tuh anak sampai ngasih tahu ciri-ciri Kalian secara detail."

Angkara yang penasaran pun bertanya, "Like what?"

The Transmigration of Souls : The Same World [ END ]Where stories live. Discover now