BAB 21

12 6 2
                                    

Day 5 - Part 1

Hari ini aku bertemu dengan Zafar di kantin asrama pagi-pagi sekali, ternyata dia juga ingin meminta menu khusus sama sepertiku. Sandwich. "Aku baru pertama kali lihat kamu datang ke kantin sepagi ini. Pesan sandwich juga lagi."

Dia menyengir. "Sebenarnya aku ingin ketemu kamu. Ada yang mau aku bicarakan."

"Oh. Sekarang?"

"Iya."

"Ini kak, sandwichnya," kata koki kantin asrama sambil menyerahkan kotak bekal aku dan Zafar.

"Terima kasih, Mba," kataku dan Zafar.

"Sepertinya saya harus membuat menu sandwich, deh. Kamu kenapa suka banget sama sandwich?" tanya dia padaku, setelahnya menatap Zafar. "Kamu juga, kenapa jadi ikut-ikutan sarapan sandwich?"

Aku tersenyum. "Ini enak banget soalnya, Mba. Aku setuju banget kalau Mba mau jadiin sandwich menu resmi di sini."

"Kalau aku penasaran aja, soalnya Ralin sering banget makan ini."

"Iya deh, terserah kalian aja. Tapi kamu Ralin, jangan sering bolos sarapan dan makan malam."

Aku dan koki asrama sudah saling kenal. Nama kokinya Bu Nada, usianya sekitar empat puluh tahun. Tapi dia tidak mau dipanggil 'Bu', maka dari itu aku memanggilnya 'Mba', katanya supaya lebih akrab dan merasa jauh lebih muda. "Siap, Mba. Ya sudah, kami permisi, ya. Selamat memasak! Semangat!"

Mba Nada mengangguk.

"Kamu kenal sama koki itu?" tanya Zafar.

Aku mengangguk. "Kenal dong, kamu kira meminta menu khusus tanpa kenal dekat dengan koki bisa semudah ini?"

"Aku tidak kenal dia, tetapi dia memberikan menu khusus ini dengan mudah."

"Itu karena ada aku, dan Mba Nada tahu, kamu teman aku."

"Masa?"

"Iya."

Aku dan Zafar tengah duduk berdua di bangku taman, sambil sibuk menyantap sandwich. Aku memerhatikan langit yang warnanya berubah perlahan dari hitam kelabu menjadi cerahnya jingga. Matahari mulai menampilkan wujudnya ke bumi tepat di hadapanku. Menenangkan sekali. Melihat matahari terbit atau tenggelam dapat sedikit memudarkan resah yang menumpuk dalam pikiran, walau hanya sebentar.

"Kenapa suka sunrise?"

Aku menoleh, menatap Zafar. "Aku suka sunrise, karena memandangnya sama saja seperti aku memberi pupuk untuk menumbuhkan harapan baru bahwa hari ini akan berjalan cerah, secerah terbitnya matahari. Hmm, aku juga suka sunset. Tahu kenapa?"

Zafar langsung menggeleng.

"Karena menurutku tenggelamnya matahari pertanda semesta menginginkan kita untuk berhenti mengejar ambisi dalam diri. Masih ada hari esok jika kita gagal hari ini. Seperti seekor burung yang terbang dari sangkar saat fajar tiba dan pasti kembali lagi ketika gelap mulai menyapa."

"Keren sekali alasanmu, Lin."

Aku tersenyum.

"Aku baru pertama kali menyaksikan matahari terbit dengan serius di sini, bersama kamu. Dan memang benar, indah sekali." Dia mengatakan itu sambil menatapku dalam. Membuatku gugup setengah mati.

"Terkadang, kamu harus memelankan laju larimu untuk memerhatikan sekitar. Supaya fokusmu tidak hanya pada satu tempat dan melewatkan tempat lainnya yang tak kalah penting."

"Aku jarang berlari."

"Maksudku, jangan terlalu fokus dengan suatu hal, terkadang kita harus rileks, menikmati keindahan alam yang Tuhan berikan. Tuhan tuh baik banget, tahu. Manusianya aja yang selalu merasa kurang."

Enigma TersembunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang