O5.

909 197 19
                                    

"Lakukan sesukamu."

Merasa kemenangan ada di pihaknya, [Name] tersenyum sumringah. "Seharusnya kau mengatakan itu daritadi," katanya, yang tanpa sungkan langsung duduk di samping sang pemuda. "Kemarikan lenganmu."

Xiao menyodorkan satu lengannya yang sempat ia balut dengan perban tanpa mengatakan apapun. Sementara tangan sang gadis dengan segera meraihnya dengan hati-hati, tidak ingin membuat pemuda itu kesakitan. "Lihat, kau bahkan tidak bisa membalutnya dengan benar." maniknya melirik yang diajak bicara. "Tidak ada orang yang bisa mengobati lukanya sendiri."

Tidak ada sepatah keluar dari mulut Xiao, yang mana hanya mengalihkan pandangan dengan acuh. Suhu udara yang melingkupi keduanya semakin menurun tanpa alasan logis, tidak ada suara menginterupsi hening yang menguasai atmosfer ruangan itu.

Selama membiarkan [Name] mengganti perban di lengannya dengan yang baru, Xiao sesekali melirik wajah sang gadis. Pahatan raut serius itu sukses mencuri atensi, terlebih sentuhan dari jemari lebih kecil yang dirasakan lengannya. Dia kemudian membuang muka, sadar akan sikapnya yang dengan tidak sopan memandangi wajah lawan jenis terlalu lama, meski yang ditatap tampak tidak sadar.

Setelah dirasa cukup, [Name] mengikat ujung perban dengan kuat, setidaknya cukup kuat agar tidak mudah lepas. Hembusan napas pendek menyusul setelahnya.

Sementara sang empu menarik kembali lengannya, memandangi perban yang sudah membalut dengan sempurna. Belum sempat ia mengatakan apapun, tangan [Name] kembali bergerak, kali ini 'tuk menyingkirkan helaian poni yang menghalangi sebagian kecil wajahnya. Terkejut dengan pergerakan yang tiba-tiba, manik pemuda itu melebar.

"Sebentar, ada luka diwajahmu," Ia kembali merogoh kotak obat, mengeluarkan sebotol obat merah dan kapas. "Maaf atas kelancanganku," tanpa menunggu respon, sebelah tangannya lekas meraih wajah Xiao, membuatnya menghadap sang gadis dengan jarak yang cukup dekat.

Xiao tidak melawan, tidak ada niatan barang sedikitpun. Namun, dia tidak bohong bahwa sentuhan yang tiba-tiba itu sempat membuatnya berhenti bernapas─walau hanya sekilas. Keningnya mengerut, hendak bertanya, "apa yang kau lakukan?" namun kalimat itu tidak kunjung lepas dari bilah bibirnya. Jika dia mengatakan itu, [Name] pasti akan menghentikan kegiatannya, 'kan?

"Xiao-senpai, kuakui kau lumayan tampan, jadi kau tidak boleh merusak wajahmu. Kalau tidak ada gadis yang menyukaimu bagaimana?" Sambil mengobati luka gores di wajah lawan bicara, mulutnya tidak berhenti mengoceh. "Lagipula untuk apa kau berkelahi? Apa mereka mengganggumu? Atau mereka mengatakan sesuatu hal yang buruk sampai membuatmu marah?"

Tidak ada jawaban, [Name] tidak menunggunya juga. Antara mulai memahami sifat Xiao atau memang sejak awal ia hanya asal bicara. Tak berselang lama begitu kegiatannya selesai, dia kembali memberi jarak dan menutup botol obat merah. Tidak ada plester luka di kotak obat, jadi gadis itu merogoh saku roknya. Dia selalu membawa plester kemanapun untuk berjaga-jaga.

[Name] menempelkan plester terkait pada bekas luka sang pemuda, kemudian memberi tepukan ringan di sana dengan santainya─membuat Xiao meringis menahan sakit. "Selesai!" ujarnya puas.

Sambil mengelus bekas tepukan di dahinya, Xiao melirik [Name] dengan sinis. Meski begitu, yah, dia tetap merasa berterima kasih atas kebaikan gadis itu. "Nampaknya kau biasa mengobati luka orang lain, ya." tebaknya.

"Yaa, dulu seorang temanku juga sering berkelahi. Mau tidak mau aku yang selalu mengobati lukanya." Sembari menjawab demikian, [Name] tidak sengaja teringat akan Lumine.

Apa yang gadis itu lakukan di sekolahnya, ya? Kira-kira apa dia akan kesepian tanpa [Name]? Dia tidak macam-macam, 'kan? Oh, ya, seharusnya dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena Aether masih di sana.

мємσяια ╱ Genshin Impact School!auWhere stories live. Discover now