Sebuah Rasa Tenang P2.

1.5K 304 27
                                    

Usai kesadarannya kembali total, Dara merasa canggung. Terlebih mengingat kecupan di matanya tadi, pipinya bersemu tiba-tiba. Satrio sedang berada di luar untuk menelepon Awan. Dara juga baru diberitahu kalau band Enam Pagi sedang proses pembicaraan kontrak dengan sebuah label rekaman. Dara tentu dengan setulus hati mengucapkan selamat dan turut senang.

Sekembalinya Satrio, Dara berdeham kecil. Sungguh, ia canggung luar biasa.

"Jadi Kakak mau ke kampus sekarang? Yuk?"

"Ngga, file kontraknya udah dikirim ke email juga. Lusa masih ada diskusi kedua sebelum final."

"Oh gitu."

Dara merutuki dirinya yang sangat berlebihan tadi dalam mengungkapkan kesedihan. Semua bayangan mengenai sikap Satrio kepadanya tadi beramai-ramai mengeroyok pikirannya.

Dara kalah telak.

Berusaha mencari topik pembicaraan lain, ia mendapati ransel Satrio yang cukup besar tergeletak di dekat meja komputer.

"Kakak baru pulang dari Jogja?"

"Iya, pas kamu nelfon itu baru sampe bandara."

"Maaf padahal pasti capek."

Satrio terkekeh lalu kembali memposisikan diri duduk di samping Dara. Tangannya mengarahkan kepala gadis itu agar bersandar di bahunya.

"Gapapa, lagian capeknya jadi hilang abis ketemu kamu."

Dara terkekeh. "Gombal, diajarin Kak Yudha?"

Untuk hari ini, Dara tidak berniat menolak perlakuan manis Satrio kepadanya. Mungkin sesungguhnya ia butuh itu untuk menyenangkan hatinya, atau memang karena ia juga ingin diperlakukan begitu.

"Hm, aku mau nanya."

"Nanya apa, Dar?"

"Waktu Kakak ngajak aku ke Jogja juga buat ketemu keluarga Kakak, maksudnya apa?"

Satrio terdiam untuk berpikir bagaimana caranya menjelaskan tanpa menyakiti hati gadis itu. Kenyataan bahwa Satrio hampir dijodohkan dengan teman masa kecilnya, apa mungkin Dara mau menerima jawaban itu?

Tapi, kembali lagi, memang siapa ia untuk Dara?

Alih-alih langsung menjawab, Satrio memilih untuk mempererat pelukan pada tubuh mungil Dara.

"Dari dulu udah beberapa kali hampir dijodohin, makanya mungkin kalo bisa bawa kamu ke Jogja dan kenalin ke keluarga yang lain, ngga akan ada lagi perjodohan."

Tubuh Dara menegang. Mungkin karena keluarga Satrio yang begitu berpengaruh, Dara menggigit bibirnya untuk menahan rasa kecewa.

"Bukan berarti aku mau manfaatin kamu buat berhentiin perjodohan, Dara."

"Terus?"

Dara mengangkat wajahnya hingga ia bisa menatap Satrio dengan leluasa. Begitupun laki-laki itu, menunduk agar bisa memandang wajah manis perempuan di pelukannya.

"Karena aku serius."

Ah, pipi Dara kembali terasa panas. Ingin sekali ia memalingkan wajah, tapi Satrio lebih cepat dengan menahan dagunya.

"Aku mau serius sama kamu meski sekarang kita belum jadi siapa-siapa."

Jantung Dara berdetak cepat. Tidak, tidak mungkin semudah itu. Dara tidak seberharga itu untuk diajak menjalani komitmen yang berat.

Dara ketakutan.

"Tapi kenapa?"

Ia menepis tangan Satrio dan berusaha lepas dari pelukan itu, tapi sudah jelas ia terlalu lelah dan Satrio lebih kuat.

[1] 2958 MdplWhere stories live. Discover now