Dara dan Kegelisahan.

2.8K 535 77
                                    

Sudah beberapa hari ini gue kesulitan tidur. Selalu ada yang lalu lalang di pikiran gue. Gue merasa banyak hal aneh (bukan mistis, gue ngga semenarik itu untuk para makhluk astral) yang terjadi di hati gue.

Iya, hati.

Setelah gue pulang dari acara nonton dengan Satrio, gue bertemu dengan kakak gue. Gue punya kakak perempuan, jarak usia kita cukup jauh yaitu 7 tahun. Dia sudah menikah dan punya anak laki-laki yang berusia empat. Namanya Winona, perempuan yang berbanding terbalik dengan gue. Dia sudah tinggal dengan suaminyaㅡdi daerah Jakarta Selatan, tapi hari itu ia menginap di rumah karena suaminya dinas ke luar kota. Sampai hari ini, Kak Nona sudah di rumah selama tiga hari.

Gue cukup bersyukur dengan kehadiran Kak Nona. Kami dekat, sangat dekat. Kak Nona berpikiran sangat dewasa, dia selalu memberi gue persepsi-persepsi baru atas masalah gue. Sebenarnya gue kehilangan sosok kakak setelah dia menikah. Tapi, kehidupan terus berjalan, kan?

Kehadiran Kak Nona selama tiga hari ini juga petaka buat gue. Karena, dengan sangat vulgarnya, dia menelanjangi rahasia gue.

Rahasia hati gue.

Iya, gue curhat dengan Kak Nona tentang kehadiran Satrio yang tiba-tiba dan bisa langsung menyita seluruh atensi gue. Baik pikiran dan perasaan, gue merasa ingin tau lebih banyak tentang Satrio.

Gue inginㅡselalu ketemu dia untuk waktu yang lama.

"Lo masih ngga sadar, dek?"

Malam ini, Kak Nona kembali ada di kamar gue. Melanjutkan sesi 'konsultasi hati' yang tidak ada habisnya.

"Sadar apa sih?"

"Perasaan elo, lah."

Gue menggeleng.

"Udah tiga hari lo curhat tentang Satrio ini, semuanya tentang dia, dek. Lo masih ngga sadar?"

Gue berdecak kesal. "Kalo gue sadar, gue ngga akan susah-susah cerita ke lo!"

Gue dapat melihat Kak Nona menghela napas lelah, tapi tatapan mata ituㅡgue kenal. Tatapan meledek.

"Adek gue udah gede ternyata."

"MAKSUD??"

"Adekku Dara,"

"Apa?"

"Lo lagi jatuh cinta."

Gue, bergeming.

"Lo jatuh cinta, dan itu sama Satrio."

Gue seperti puzzle yang tersisa satu potongan, tapi menolak untuk menerima bagian itu untuk melengkapi gue. Gue justru semakin bingungㅡsebagian dari diri gue menentang persepsi itu.

"Gimana bisa gue jatuh cinta sama Satrio?"

Kak Nona mengangkat bahunya. Gue mati-matian menahan diri untuk mencerca berbagai omelan. Sok tau, gue ngga suka siapa-siapa. Gue ngga jatuh cinta sama siapa-siapa.

Gimana bisa gue dianggap jatuh cinta sama Satrio?

"Dek,"

Gue melirik Kak Nona.

"Lepasin dulu ego dan gengsi lo. Gue tau lo denial soal hati lo karena masih trauma."

Sial. Kak Nona ungkit itu. Kepala gue mendadak pusing, rasanya dunia di sekeliling gue berputar.

"Gue pusing Kak, gue mau tidur."

Dapat gue lihat Kak Nona menatap gue dengan kasihan. Susah menutupi apapun dari orang yang paling hapal mengenai diri sendiri. Gue bahkan ngga bisa menyangkal apapun.

Omongan Kak Nona, apa itu benar?

◇◇◇

Sudah hampir larut malam tapi sekali lagi, gue kesulitan tidur. Segala pernyataan Kak Nona mondar-mandir di pikiran gue dan bikin gue ngga tenang.

Apa iya gue jatuh cinta sama Satrio?

Suara notifikasi chat membuat gue sadar dari lamunan, tapi gue rasanya ingin melempar handphone gue saat melihat siapa pengirimnya.

Iya, Satrio.

Gue menghela napas sebelum membuka pesan, entah kenapa jantung gue berdetak cepat. Padahal, gue ngga ngutang sama Satrioㅡkecuali kalo dia mau nagih lima ribu traktiran gorengan tempo hari.

Satrio.
Dara?
Udah tidur?

Gue malas untuk membalas pesan itu, gue cuma baca dari tampilan notifikasi. Entah kenapa, gue merasa ngga siap untuk berkomunikasi dengan Satrio. Kalo ternyata gue beneran jatuh cinta sama dia, gimana?

Tapi, semakin gue menahan untuk ngga balas pesan itu, gue semakin ngga tenang.

Hidup gue kenapa makin susah, sih?

Gue memutar badan, memunggungi ponsel yang terletak di nakas. Tapi, suara nada dering langsung memenuhi kamar gue. Apa malam ini lagi hari nasional untuk menekan gue?

Satrio is calling. . . .

Satrio. Ya Tuhan. Lo, kenapa sih ganggu gue terus?

"Halo."

"Dar? Udah tidur?"

Suara husky yang khas itu dengan sopannya masuk ke telinga gue, tapi sayangnya cuma bisa mengacak-acak hati gue.

"Ini gue jawab telfon lo sambil mimpi."

"Hahaha. Sorry, ganggu."

Gue menghela napas. "Kenapa, kak?"

"Lo kapan balik ke kos?"

Dahi gue mengernyit. Gue kan, ngga satu kos sama dia? Kenapa nanyain?

"Lusa kayaknya. Kenapa ya?"

"Gue pengen ajak lo pergi lagi."

"Ke mana?"

Satrio tidak langsung menjawab. "Yogyakarta?"

"Hah? Ngapain?"

Lagi, Satrio diam. Gue bisa mendengar suara nafasnya yang halus. Jelas ini bukan karena koneksi telepon yang buruk, tapi Satrio yang diam.

"Ketemu keluarga gue."

Untuk apa? Ngapain gue harus ketemu mereka? Gue ngga kenal mereka dan mereka ngga kenal gue. Bahkan Satrio ngga pernah menceritakan keluarganya, satu-satunya informasi yang gue tau hanya dari Abel.

Satrio, niat lo kali ini apa?

"Maaf Kak, ngga bisa. Gue harus mulai siapin pendakian."

Perasaan gue semakin dibuat kalut. Gue hanya bisa menebak dan menduga, apa yang ada di pikiran Satrio ketika ajak gue ketemu keluarganya? Dan kenapa? Alasannya apa, Satrio?

Gue ngga bisa terlalu dekat sama dia, di saat gue ngga yakin dengan perasaan gue sendiri.

"Gapapa."

Gue tidak langsung menjawab. Rasanya ingin berteriak dan menanyakan semua alasan Satrio begitu baik ke gue.

"Kita ketemu di persiapan pendakian selanjutnya ya."

Gue mengangguk, lalu menyadari bahwa Satrio tidak bisa melihat tindakan gue. "Iya, Kak. See you soon."

Satrio menutup panggilan terlebih dulu. Gue bahkan dapat menangkap kekecewaan darinya meski tidak melihat raut wajahnya. Tapi, kalau gue terima ajakan itu, bukannya akan semakin membingungkan buat gue?

Kita bahkan bukan siapa-siapa selain teman dan senior-junior.


◇◇◇◇◇

Mari mengucap bismillah untuk lanjutan cerita ini. 🙏🙏

[1] 2958 MdplHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin