Dara dan Kencannya (P2).

2.6K 586 93
                                    

Selama berlangsungnya film, gue ngga bisa melepaskan fokus dari alur. Tau ngga, rasanya seperti mau nangis terus menerus. Iya, lebay banget. Tapi emang sesedih itu. Gue pikir, ini cerita yang sangat sederhana dan siapapun bisa merasakan. Mungkin, siapa yang tau kalau tetangga gue mengalami ini? Atau sepupu gue?

"Dar?"

"Hm?"

Gue menoleh dengan tangan yang sibuk menghapus sisa air mata. Sedangkan di depan gue, Satrio malah terkekeh. Rambut gue diacak dengan lembut, lalu mengarahkan kepala gue untuk bersandar di bahunya.

Gue, ngga menolak.

Ya, bukan karena gue emang sangat butuh sandaran detik ini. Bukan itu. Tapi, hei ini di bioskop.

"Lo nangis sepanjang film sih?"

"Sedih tau."

"Iya, tau. Tapi ini fiksi, Dara."

"Tapi sedih, Satrio."

Lihat, kan? Kalau gue balas Satrio dengan keras, kami pasti berdebat.

"Yaudah, iya iya."

Lagi, kepala gue disentuh. Kali ini bukan diacak seperti tadi, melainkan sebuah usapan lembut yang singkat. Tengkuk gue terasa merinding. Kenapa tiba-tiba seperti ada yang berterbangan di perut gue?

Gue berpikir selama sisa film berlangsung, bagaimana sosok Satrio bisa menenangkan gue hanya dengan perlakuan sesederhana usapan di kapala dan genggaman tangan yang sekarang sedang ia lakukan. Gue, linglung. Seharusnya sesi menonton film hari ini tidak se-dramatis ini. Begitu film selesai dan lampu bioskop perlahan menyala, Satrio sudah menunduk dan menatap gue dengan senyum geli di bibirnya.

Oh lihat dia mulai ngeledek lagi.

"Udah puas nangisnya?"

Gue tidak menjawab dan sibuk menghapus sisa air mata yang bikin kesal dan malu ini. Satrio mengulurkan tangan; dengan saputangan kotak-kotak yang disodorkan ke gue. Apaan lagi sih ini, Satrio?

"Hapus tuh, jadi jelek kan."

"Ngga usah kalo mau ngeledekin."

"Ngga ngeledek."

Dan Satrio tanpa aba-aba sudah mengusapkan sudut mata gue dengan kain saputangan miliknya. Tau ngga rasanya wajah seketika panas kayak habis masuk ke ruang sauna bersuhu paling tinggi? Iya, itu yang lagi gue rasakan sekarang.

"Pipinya merah,"

Gue mengalihkan wajah.

"... cantik."

Sialan.

*****

Setelah berbagai drama melankolis yang terjadi pada gue di bioskop itu, gue dan Satrio akhirnya sudah keluar dari bioskop. Niatnya mau cari cheese tea untuk meredakan rasa malu gue ke Satrio yang kayaknya mendapat banyak bahan untuk meledek gue sepanjang sisa semester ini. Kami turun dengan eskalator yang ngga terlalu penuh, masih pada niat awal yaitu cari minuman.

"Lo maunya cheese tea apa?"

"Gulu-g*lu."

Begitu sampai di tempat yang gue ingin, ada beberapa orang yang mengantre. Satrio sempat menyuruh gue untuk duduk dan cari kursi, tapi gue ngeyel dan bilang mau ikut antre. Satrio hanya menghela napas dan membiarkan gue sekarang berdiri di belakang dia. Satrio diam, sibuk dengan ponselnya yang sepertinya mendapat banyak notifikasi pesan. Gue akui tadi ketika di bioskop pun ponsel Satrio bergetar terus. 

"Chat dari siapa aja?"

Hah? Bentar.

Dara, ini lo kan? Ini Andara Lintang Maiza anaknya Bapak Samsudin Bahari kan? Kok bisa-bisanya lo nanya hal paling ngga mutu begitu? Lo kepoan banget sih, Dar?

"Oh, ini." Satrio memutar badannya hingga kini menghadap gue. "BEM, grup diskusi, sama beberapa anak kelas yang bahas tugas."

Gue ngga menyangka Satrio akan menjawab sekaligus menjelaskan siapa saja yang mengirimnya pesan. Maksud gue, tau 'kan? Dia bisa saja mengelak dan ngeledek gue manusia super kepoan.

Tapi, dia memilih buat menjelaskan itu ke gue.

"Oh, gitu..." Gue kehilangan kata-kata. Dengan sikap dia yang begitu membuat gue sadar bahwaㅡapa kita sebegini dekatnya?

"Lo bengong."

"Gue ngga bengong."

Kami sampai di ujung barisan, memesan dua minuman untuk kami masing-masing. Gue berniat untuk membayar minuman milik gue sendiri, tapi si Satrio ngeyel dan bilang uangnya gue tabung saja buat beli kuota.

Yang benar aja deh.

"Makasih." Gue menyedot minuman gue yang rasanyaㅡgue kayak menemukan jati diri gue kembali.

Gue harus bersujud di depan penemu cheese tea.

Bingung mau melakukan apa lagi, Satrio mengajak gue ke pusat permainan. Gue, dengan penuh semangat jiwa raga, langsung setuju. Gue akan menggunakan kesempatan ini untuk menantang Satrio.

"Mau nantang apa sih emang?"

"Gue yakin lo ngga akan bisa menang dari gue, Kak."

"Tch. Gue kan Satrio, ngelakuin apa aja bisa."

"Yang bener?" Gue tersenyum miring sedangkan Satrio menatap gue dengan arogan. Idih, gaya banget.

15 menit kemudian.

"YANG BENER AJA, DARA?!"

"HAHAHAHA. AYO LAGI PAKE LEVEL TERTINGGI."

Satrio berjongkok dengan napas tersengal sedangkan gue terbahak di depannya. Suara dari mesin permainan dance (pump it up) ini  kembali menggema, pertanda permainan akan dimulai lagi. Gue melirik Satrio yang perlahan berdiri, kasihan juga sih.

"Yaudah deh lo duduk aja, Kak."

"Ini terakhir sesuai omongan lo tadi, ya."

Musik dimulai, gue menggerakkan kaki mengikuti tanda-tanda panah di layar. Menginjak mesin hingga menyala sesuai instruksi dan menggoyangkan badan. Gue tertawa mendengar erangan frustasi Satrio di samping gue.

"Ayo semangaatt!!"

"Kaki gue kesemutan, sial!"

Lagi, gue terbahak dengan berbagai macam kata umpatan yang dilontarkan Satrio. Ini sisi dia yang baru gue temui lagi, Satrio bisa hilang kendali di pusat permainan seperti ini.

Permainan selesai. Satrio nampak tidak peduli dengan hasilnya dan langsung turun untuk duduk di kursi. Gue masih tertawa lalu mengemasi barang-barang gue dan segera menghampiri Satrio.

"Capek banget emang?"

Satrio menghela napas kasar dan meluruskan kakinya. Gue jadi merasa bersalah. Segera, gue merogoh sesuatu di dalam tas.

"Kak, lo keringetan banget." Tissu yang gue ambil barusan langsung gue pakai untuk menyeka keringat di dahi Satrio. Biar gimana pun, ini ulah dari paksaan gue.

"Dara,"

"Apa?"

Satrio memalingkan wajahnya ke arah gue hingga kami bertatapan. Ternyata, tatapan matanya sangat dalam. Bisa memenjarakan siapapun yang terlalu lama memandang bola mata indah itu. Gue terperangkap, semua hal di sekitar gue terasa berhenti.

Satrio diam, gue pun begitu. Panggilan yang diucapnya tadi tidak memiliki lanjutan apapun, hanya nama gue yang menggantung. Gue berdeham, canggung. Lalu bergerak untuk membuang tissu tadi ke temapt sampah terdekat.

Namun, ternyata Satrio belum mengalihkan pandangannya dari gueㅡgue menyadari itu ketika sudut mata gue menangkap tatapan Satrio masih berpusat pada gue.

"Pulang yuk?" ajak gue.

"Kenapa pulang?"

"Udah sore."

"Nanti dulu."

"Kenapa nanti?"

"Gue masih mau sama lo."

Gue bersemu. Sialan, Satrio.

◇◇◇◇◇

MAAF LAMA BANGET UPDATE-NYA, TOLONG JANGAN HUJAT SAYA SEBAGAI PENULIS YANG BERDOSA INI. 😭😭

[1] 2958 MdplOù les histoires vivent. Découvrez maintenant