Dara dan Pukul 10 Malam.

3.3K 685 25
                                    

Malam ini indah tapi ngga buat gue. Pasalnya sekarang gue lagi jongkok di depan ruang Mapala pakai piyama dibalut jaket hanya untuk nunggu Bang Rizky datang bawa kunci, dan sekarang sudah jam 10 malam. Jadi, kegoblokan gue berulah. Gue meninggalkan laptop beserta hard disk di ruang Mapala padahal besok pagi gue ada presentasi.

Malam ini Mapala ngga ada jadwal kumpul atau rapat, makanya ruangan sudah dikunci sejak setelah petang. Untungnya Bang Rizky punya kunci cadangannya. Jelas, dia kan ketua. Cukup ngga enak sih minta tolong dia balik ke kampus lagi cuma untuk kunci ruang Mapala, tepatnya demi laptop gue, tapi mau gimana lagi? Ini hidup dan matinya gue.

"Lah, Dar?"

Satrio. Dia baru saja keluar dari ruang BEM dan sekarang berdiri di depan gue.

"Hehehe, iya."

"Ngapain?"

"Nungguin Bang Rizky bawain kunci ruangan."

Satrio mengernyit. "Emang ga ada orang di dalem?"

Gue menggeleng. "Laptop sama hard disk gue ketinggalan di dalem tapi Mapala lagi ga ada kumpul-kumpul, jadi kekunci deh."

"Oh."

Gue memerhatikan Satrio yang pakai celana selutut dan kaus lengan panjang berwarna abu-abu, ngga lupa sendal jepitㅡtapi bukan swallow, gue ngga tau merknya.

"Mau nunggu di dalem aja?"

"Hah?"

"Di dalem ruang BEM."

"Emang gapapa?"

"Emang ada yang larang?"

"Ka, ih sumpah jangan nanya balik, gue tuh bingung."

Satrio ketawa, padahal ngga ada yang lucu.

"Yaudah lo nunggu di dalem aja, mumpung sepi. Gue mau ngeprint laporan dulu."

"Oke kalo gitu."

Ketika Satrio pergi, gue memutuskan bangun dan masuk ke dalam ruang BEM. Ternyata benar, sepi. Tapi bukan berarti ngga ada orang. Gue melihat empat orang di ruangan ini. Dua orang tidur di pojok ruanganㅡdengan ditutup sarung, sisanya sibuk dengan laptop masing-masing. Gue sengaja ngga mau menimbulkan suara karena sepertinya mereka lagi mengerjakan sesuatu. Gue duduk di atas karpet dan cuma melemparkan senyum ke salah satu anak BEM yang melihat gue.

Tiba-tiba ada notifikasi LINE di hape gue.

Bang Rizky.
Gue di parkiran, bisa ke sini ga?
Gue buru-buru.

Tanpa babibu gue langsung keluar ruangan dan hampir menabrak Satrio yang sepertinya sudah selesai ngeprint dan mau masuk ke ruangan.

"Kenapa lo?"

"Mau ke parkiran."

"Oh. Nanti balik sama siapa?"

"Hah?"

Apa nih? Random banget tiba-tiba nanya ginian?

"Sendiri."

"Ntar gue anterin."

"Ih ga usah."

"Gue juga mau balik abis ini."

"Gue bisa sendiri."

"Sekalian."

Gue menghela napas, dia tuh keras kepala banget ya?

"Yaudah iya. Minggir ah gue mau ke parkiran."

Gue melengos melewati Satrio yang sumpah demi apapun sangat menghalangi jalan gue. Iya gue tau gue kurang ajar tapi faktanya begitu. Gue merapatkan jaket gue dan berlari menuju parkiran kampus. Kampus belum sepi, masih ada segelintir mahasiswa yang punya kegiatan di jam segini.

Dari jauh gue bisa melihat Bang Rizky, sedang merokok, dengan cewek di boncengannya.

Gue memperlambat langkah gue. Oh, jadi ini alesan Bang Rizky buru-buru?

"Za! Sini buruan!" Gue tersenyum dan berlari menghampiri Bang Rizky.

"Lo mau ke mana Bang jam segini?"

"Jalan aja, hehe. Nih kuncinya, ntar lo bawa pulang aja. Balikinnya besok."

Gue menerima kunci ruang Mapala dengan gantungan gunung Fuji.

"Oke, hati-hati." Bang Rizky mengangguk dan mengacak rambut gue.

Kenapa lo mesti begini di depan cewek lo?

"Gue cabut dulu ya."

Bang Rizky melajukan motornya, perempuan di boncengan itu menatap gue dengan datar. Gue yakin dia pasti kesel sama gue.

Jadi, gue beneran dianggep adek? Cuma adek? Hahaha.

Yailah, emang lo berharap apa, Dar?

Gue menghela napas dan berlari kembali ke gedung PKM. Hell, tugas gue lebih penting dibanding menye-menye. Dan, siapa sangka, Satrio sudah berdiri bersandar di depan pintu ruang Mapala. Mau ngapain dia?

"Lo ngapain deh?" tanya gue tanpa menatap dia, sibuk memasukan kunci ke lubangnya.

"Nungguin lo."

"Ya ampun." Terbuka, pintu ruangan sudah terbuka. Gue melenggang masuk dan mencari tas laptop gue yang berwarna merah. "Nah ini dia." Gue mengambil benda yang dari tadi gue cari dari atas meja. Terdiam sejenak, gue melihat buku catatan Bang Rizky dengan foto dia dan perempuan tadi terselip di antara kertas.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga gimana Bang Rizky selalu memberikan gue perhatian tapi di waktu yang sama, semua perhatian itu seolah mendeklarasikan bahwa gue hanya sebatas adik di matanya.

"Dar?"

"Ya?"

Ketika gue menoleh, Satrio sudah berdiri di belakang gue. Dengan ranselnya tersampir di salah satu bahunya.

"Mau pulang?"

"Lo nangis, Dar?"

"Hah?"

Dahi gue mengerut, tangan gue refleks menyeka sudut mata gue. Basah. Kok bisa?

"Ini gue terlalu ngantuk kayaknya."

"Oh."

Satrio ngga mengeluarkan suara lagi dan gue juga cuma diem. Aneh, gue nangis kenapa? Masa gara-gara Bang Rizky? Ngga mungkin.

"Yaudah yuk, pulang."

Gue mengangguk dan berjalan duluan keluar ruangan, Satrio menyusul kemudian gue segera mengunci kembali ruang Mapala.

"Sini gue bawain." Tanpa memberi gue waktu buat merespon, Satrio sudah merebut tas laptop gue. Gue mengekori dan berlari kecil agar bisa menyamai langkah Satrio.

Sampai di parkiran, kami sama sekali tidak mengobrol. Bahkan di motor pun juga, hingga sampai di kosan gue. To be honest, gue sering kehilangan kata-kata kalau sama Satrio. Like, bingung mau ngomong apa.

"Udah nyampe."

Gue turun dan mengucapkan terima kasih ke dia, gue ngantuk banget tapi masih harus nugas setelah ini.

"Eh, Dar."

"Iya?"

Gue memutar badan, kembali menghadap Satrio.

"Lusa, dateng ya. Enam Pagi mau manggung."

"Hah?" Gue mengerjapkan mata. "Jadi gue beneran diundang?"

Satrio ketawa, suaranya renyah. "Iya lah beneran. Gue bisa minta LINE lo? Nanti gue kirim lokasinya."

Gue mengangguk, Satrio memberikan hapenya. Gue mengetik ID Line gue dan mengembalikan ke Satrio.

"Yaudah kalo gitu, good night."

"Good night juga, Ka. Hati-hati."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Satrio melajukan motornya dan meninggalkan gue. Sesingkat itu obrolan gue sama Satrio. Tapi, lusa kan gue ada rapat Mapala? Oh shit gue lupa.

°•°•°

[1] 2958 MdplWhere stories live. Discover now