Dara dan Gunung Gede.

147 22 2
                                    

Tiba juga hari yang sudah membuat gue gugup sejak minggu lalu. Bagaimana tidak, itu semua karena laki-laki yang udah ngikutin gue di belakang ini, yang masih bisa-bisanya senyum tanpa rasa bersalah. Siapa lagi kalau bukan Satrio. Gue menghela napas dan melanjutkan perjalanan, kami baru saja berhenti di pos pertama untuk beristirahat dan melakukan sedikit briefing tambahan bagi yang membutuhkan.

Saat pendakian seperti ini, gue selalu nostalgia dengan mendiang Papa. Saat itu gue berusia sekitar 13 saat Papa ajak gue pertama kali mendaki. Meskipun sejujurnya itu tidak bisa disebut pendakian juga, karena gue merengek dan menolak untuk ikut Papa. Tapi akhirnya gue perlahan 'kenalan' dengan gunung.

Gue teringat beberapa percakapan gue dengan Papa, beliau sosok yang masih belum bisa tergantikan meskipun saat ini sudah ada Ayah di sisi gue. Kata orang, cinta pertama anak perempuan itu adalah sosok papa.

"Kamu itu persis Mama yang tempramental, coba sekalian belajar sabar pas naik gunung."
"Adek, dari sini kelihatan kan luasnya daratan di bawah? Bahkan dari atas gunung, manusia susah dilihat saking kecilnya. Apalagi dari atas langit sana?"
"Dipungut lagi sampah permennya. Meskipun bungkusannya kecil, tapi itu sampah. Manusia aja ngeluh kalau badannya kotor, tapi alam kan ngga punya mulut buat ngeluh. Protesnya dari perubahan iklim. Jadi yang harusnya peka itu kita, manusia."

Tanpa sadar gue jadi tersenyum tipis. Papa selalu punya cara tersendiri buat kasih petuah. Mungkin karena alam tau Papa peduli sama mereka, makanya mereka panggil Papa duluan supaya jadi bagian dari mereka. Sudah lewat empat tahun dari kepergian Papa yang mendadak, dari nasihat terakhir Papa yang meyakinkan gue bahwa gue ngga akan pernah sendirian. Katanya, ada jutaan sel di tubuh gue yang selalu beregenerasi dan menjaga organ gue tetap berfungsi. Katanya lagi, masih ada hewan, laut, gunung, dan bahkan butiran pasir di bumi ini. Jadi gue ngga akan sendirian, di sekitar gue ada banyak elemen Tuhan yang menemani gue. Begitu katanya. Tapi ketika gue patah hati, gue cuma berdua sama Mama.

Waktu itu, gue lupa mengenai jutaan sel tubuh karena gue jatuh sakit. Gue juga lupa tentang hewan, laut, gunung, dan butiran pasir. Karena mata gue digelapkan oleh rasa kecewa.

Pada akhirnya, saat itu, gue hanya ditemani Mama sambil merasa kesal. Kenapa gue ngga sakit hatinya pas masih ada Papa juga? Jadinya kan bisa ada Papa yang datengin si begundal itu buat, minimal, marahin dia.

Bercanda. Gue selalu berterima kasih dan bersyukur karena Mama super kuat. Apalagi sekarang gue punya Ayah yang udah menemani gue satu setengah tahun terakhir ini. Meskipun Ayah bukan anak gunung seperti Papa, tapi beliau juga sering ajak gue olahraga salah satunya tenis. Di situlah gue menyadari betapa ngga berbakatnya gue sama olahraga.

"Dara?"

Gue tersadar dari sesi nostalgia dan menoleh, ada Satrio dan tatapan khawatirnya. "Ya?"

"Kok diem aja? Sakit?"

Baru aja mau jawab, tapi Bang Yongki yang ngga jauh dari barisan kami udah nyahut duluan. "Dia biasanya emang gitu kalo naik, pasti sambil muhasabah diri."

Gue menghela napas dengan ke-asbun-an dia, rasanya mau gue lempar batu. Satrio kembali menatap gue lagi seolah menunggu jawaban. Gue tersenyum lebar dan mengangguk. "Ga sakit kok, tenang aja." Ada jeda se-persekian detik sebelum Satrio juga senyum.

Semua terasa cepat dan lama di waktu yang bersamaan. Pendakian kami terhitung sangat lancar setelah melewati pos kedua bahkan hingga puncak gunung yang saat ini sedang kaki kami pijak. Di sebelah gue, Satrio terlihat bangga dengan dirinya. Gue pun bangga sama dia. Ngga cuma Satrio, beberapa junior juga cukup emosional. Gue mendekat ke Satrio.

"Kalo mau foto gapapa kok, tapi abis ini harus beresin barang."

Satrio menoleh, gue tersenyum sumringah dan meninggalkannya beralih ke rombongan untuk mulai menyiapkan makanan sesuai pembagian tugas. Gue sengaja memberikan Satrio waktu sendiri, barangkali ada renungan hidup yang mau dia pikirin setibanya di puncak.

Sambil memisahkan makanan yang dibawa, sesekali gue melihat Satrio yang sudah berbaur dengan yang lain untuk mengatur tenda dan aliran irigasi untuk antisipasi hujan. Gue tersenyum kecil dan kembali berkutat dengan sejumlah mie instan untuk dimasak. Terlebih langit sore akan berubah gelap dalam beberapa puluh menit lagi, makanya kami mempercepat gerakan tangan agar makanan segera siap.

Begitu semua makanan selesai, anak-anak yang semula berpencar pun mulai berkumpul di sekeliling gue. Emang ya, suasana petang di puncak gunung dengan mie kuah soto itu ngga pernah salah. Gue yakin Satrio juga setuju, karena dia sangat anteng duduk di sebelah gue sambil mengunyah makanannya juga.

Kami tidak punya jadwal tetap malam ini, yang terpenting saling menjaga dengan aman. Tapi secara sukarela, mayoritas anak-anak berkumpul mengitari api unggun yang di atasnya ada panci berisi air untuk menyeduh minuman apapun. Gue pun bangun dari posisi duduk, berjalan menjauh sekitar lima belas langkah dari mereka, sambil melakukan peregangan tangan dan bahu.

"Dar, ngapain di sini?"

Gue menoleh, Satrio sudah berdiri di belakang gue. "Lagi nungguin air, tapi di sana keramean."

Gue mengeluarkan ponsel. Meskipun ngga terlalu berguna karena sinyal, tapi gue membuka fitur kamera yang, sudah jelas, juga ngga berguna karena ngga menangkap apapun akibat langit sudah gelap. Hanya ada titik-titik pantulan lampu pemukiman warga dan bintang yang samar. Gue mengatur setelan kamera dan memotret beberapa foto.

Gue melirik Satrio melalui sudut mata gue. Dia juga sedang menatap gue, atau lebih tepatnya tangan gue yang masih memegang ponsel. Gue berdeham kecil dan kembali mengantongi ponsel gue. Angin berhembus, seolah juga ikut membawa hembusan yang canggung. Tidak ada obrolan selama beberapa saat, kecuali suara angin dan anak-anak yang berbincang agak jauh di seberang.

Suasana yang cukup ampuh membuat jantung gue berdebar lebih keras, entah kenapa.

"Sekarang aku jadi tau kenapa kamu suka banget mendaki gini."

Gue menoleh, mata Satrio menatap lurus ke depan. Jauh, seolah menerawang sesuatu yang ngga bisa gue lihat.

"Kenapa emang?"

"Karena semuanya," Satrio mengalihkan lagi matanya hingga bertabrakan dengan tatapan gue. "Menakjubkan."

Gue merasa udah terlambat untuk kabur dari tatapan itu. Rasanya seperti ada perangkap paling kuat di matanya. Satrio tersenyum, mungkin dia sadar betapa kikuknya gue saat ini.

"Dara."

"Iya?"

Suara Satrio mendadak terdengar seperti orkestra paling indah ketika dia panggil nama gue. Sedangkan gue di sini, berusaha mengontrol riuhnya debar jantung gue yang justru kayak genderang perang. Alarm insting gue berdering hebat, memperingatkan gue bahwa suasana ini begitu serius. Bahkan telinga gue berangsur sunyi, seolah dipaksakan fokus hanya pada suara laki-laki di hadapan gue ini.

Gue bahkan ngga bisa merasa keheranan mengenai kenapa tiba-tiba tubuh gue merespon dengan rusuh. Sedangkan Satrio, dia masih diam kecuali matanya yang tetap keras kepala memerangkap pandangan gue.

"Dara."

Gue hanya terdiam, satu-satunya yang bisa gue lakukan hanya mengepalkan tangan. Bahkan bernapas pun lupa.

"Andara Lintang Maiza."

Tenggorokan gue tercekat. "Iya, Satrio."

Dia tersenyum, akhirnya mengalihkan mata mematikannya itu. "Tolong denger baik-baik ya."

Seperti terhipnotis, gue mengangguk dan ngga sadar kalau tangan gue yang mengepal sudah ada di genggamannya.

"Tangan ini," dia mengusap punggung tangan gue beberapa saat. "Tangan yang mau aku genggam untuk seterusnya."

Ah.

"Mata itu juga, mata yang mau aku tatap untuk seterusnya."

Astaga.

"Seluruhnya kamu, adalah apa yang aku mau untuk seterusnya."

Ah sial, Satrio.

[1] 2958 MdplWhere stories live. Discover now