✾ chapter 3 ✾

3.4K 312 9
                                    

Siapa pun yang menanam, pasti akan menuai.
Jika kamu tak ingin merasakan akibat dari yang kau tuai.
Jangan pernah lakukan sebab dari yang kau tanam.

❃.✮:▹ Ⱨ₳₱₱Ɏ ⱤɆ₳Đł₦₲ ◃:✮.❃

⋇⋆✦⋆⋇ 

Udara malam terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Langit pun tak henti-hentinya mengeluarkan tangis dan amarahnya kepada bumi.

Dingin, mencekam, dan gelap mendeskripsikan suasana di sel tahanan malam itu.

Clara meringkuk dan menangis sambil memeluk lututnya sendiri di dalam sel tahanan bersama penonton balap liar yang lain.

"Ra, jangan di situ, dingin. Ke sini aja, yuk!" ajak Mela, satu-satunya teman Karina yang Clara kenal. Sebelum bertemu dengan Clara, Karina sangat dekat dengan Mela. Ke mana pun Mela pergi, Karina selalu membuntutinya. Namun, semenjak ayah Karina bekerja di rumah Clara sebagai tukang kebun saat usia mereka menginjak sembilan tahun.

Clara yang tak memiliki teman sama sekali sangat exited menyambut Karina dan mengajaknya bermain. Mela? Gadis itu malah senang karena tak ada lagi anak-anak kompleks yang akan menyorakinya karena Karina yang berpakaian lusuh seperti gelandangan selalu memegang ujung bajunya.

"Gue nggak mau di sini, gue takut. Gue mau pulang sekarang," ucap Clara menatap Mela sekejap lalu kembali ke posisi semula.

"Kalau seandainya bokap lo bebasin lo, prosesnya nggak mungkin secepet itu, Ra. Lo nggak bisa bebas malam ini."

Clara menggeleng. Air matanya kembali meluruh deras disertai isakan membuat Mela mengembuskan berat napasnya lalu membiarkan Clara berada di posisi seperti itu.

Tadi, Clara ditinggalkan oleh Karina dan Doni sehingga ia hanya diam mematung tak mampu untuk bergerak sama sekali, dan berakhir ditangkap oleh polisi yang kebetulan sedang berpatroli di daerah sana.

"Ayah, tolongin Clara," lirih Clara dengan memperhatikan ruangan sel yang ia tempati. Kumuh, dingin, minim pencahayaan, dan juga mencekam.

Dalam hati, Clara selalu menyebut ayahnya untuk membebaskannya, sebelum akhirnya suara polwan membuatnya tersenyum.

"Saudari Clara, Anda bebas," ucap salah satu polisi membukakan pintu sel membuat Clara berdiri dan keluar dari sel dengan cepat. Ia bersumpah bahwa berada di dalam sel tahanan adalah hal pertama dan terakhir baginya. Ia tak mau sekali pun masuk ke dalam ruangan buruk seperti itu lagi.

Clara terpaku saat melihat seseorang berdiri di depannya. Kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku, serta mimik wajah yang dibuat biasa tanpa kilat amarah di matanya, membuat rasa bersalahnya muncul.

Clara terpaku pada manik mata hitam legam itu, seolah sedang mencari sesuatu yang lebih di dalam tatapan mereka. Sama halnya juga dengan Reno, mereka terpaku pada tatapan satu sama lain, mencoba menelisik lebih jauh.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Dengan cepat, Clara menubruk dada bidang Reno dan menangis di sana.

Kaget? Tentu saja. Namun tak ayal, Reno membalas pelukan gadis itu dan mengusap punggungnya berusaha untuk menenangkannya.

"Kenapa?" tanya Reno lembut membuat Clara diam terpaku. Tak pernah ia mendengar suara Reno selembut ini.

Entah mengapa, dalam pelukan Reno, Clara merasakan sesuatu hal yang berbeda, seperti perasaan nyaman, tenang, dan senang. Clara tak tau itu apa, tapi rasanya sungguh ... Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

"Gue nggak mau di sini. Bawa gue pulang," jawab Clara melerai pelukan di antara mereka.

"Iya, kita pulang."

Kedua sudut bibir Clara terangkat saat Reno menggenggam erat telapak tangannya dan membawanya keluar dari kantor polisi.

⋇⋆✦⋆⋇ 

Canggung, adalah suasana yang menggambarkan keadaan di dalam mobil saat ini. Selama dalam perjalanan, tak ada yang memulai pembicaraan sama sekali. Reno dengan watak aslinya, dan Clara yang sedang dalam mode gengsi.

"Ren," panggil Clara mendapat balasan deheman dari sang empu.

"G—gue, minta maaf," lirih Clara nyaris tak terdengar.

"Kamu ngomong apa?" tanya Reno tanpa mengalihkan atensinya dari jalanan, membuat Clara memejamkan mata dan menarik dalam napasnya.

"GUE MINTA MAAF," ulangnya penuh penekanan di setiap kata.

"Oh, oke."

Clara melongo. Apakah laki-laki itu tidak marah setelah habis-habisan dikerjai olehnya? Clara saja akan selalu marah jika siswa lain di sekolahnya tak sengaja menyenggolnya. Tak segan, ia akan menjambak atau pun merobek baju siswa tadi. Hal itu yang membuat Clara susah mendapatkan teman.

"Lo nggak marah?"

"Enggak. Itung-itung buat bersihin perut saya," jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat Clara terpana. Coba bayangkan, jika bermuka datar tanpa mimik wajah saja sudah tampan, apalagi kalau tersenyum?

Ganteng bangettt, Ayah. Clara nggak kuat, jeritnya dalam hati.

"Beneran nggak marah?" tanya Clara sekali lagi membuat Reno mengangguk mantap.

Mobil berhenti berjalan saat mereka telah sampai di depan rumah Clara. Saat Reno hendak membuka pintu, Clara menahannya.

"Kenapa?" tanya Reno dingin.

"Jangan bilang sama Ayah kalau gue masuk sel," pintanya membuat Reno tersenyum miring.

"Siapa pun yang menanam, pasti akan menuai. Jika kamu tak ingin merasakan akibat dari yang kau tuai. Jangan pernah lakukan sebab dari yang kau tanam."

"Tinggal jangan ngomong doang, segala ceramah," cibir Clara membuat Reno memposisikan tubuhnya menghadap tepat dengan Clara.

"Gampang, cukup turutin apa pun yang saya perintahkan, gimana?"

"NGGAK BIS—"

"Semua keputusan ada di tangan kamu," potong Reno lalu keluar dari mobil membuat darah Clara mendidih seketika.

Kalau sampai Ayah tau, bisa-bisa akses gue buat keluar rumah dicabut. Gue juga pasti dilarang buat sekolah. Arghh Reno sialan!

.

.

.

.

.

Gimana part ini?

Mau bilang apa ke Reno?

Mau bilang apa ke Clara?

Jangan lupa vote dan komennya.

Salam

Dita Lestari

My Handsome Bodyguard (TAMAT) Where stories live. Discover now