15. Fathan semakin berulah.

11.4K 1.3K 136
                                    

"Boleh?" tanya Fathan dengan mata sayunya. Matanya masih fokus pada benda berwarna merah delima itu. "Ya?" tanya Fathan lagi saat tak ada jawaban dari Khaira.

Melihat keterdiaman Khaira, membuat Fathan merasa bersalah, tak seharusnya ia meminta hal yang lebih, apalagi untuk usia istrinya yang masih bisa dibilang remaja itu. Fathan tersenyum tipis, tangannya mengusap pipi Khaira. "Dah yuk tidur, gausah di pikirin perkataan Mas tadi."

Khaira terdiam sesaat, ada yang beda dari perkataan suaminya. Ia tahu, suaminya tidak menggunakan kata 'saya' lagi dan berganti jadi 'mas', dan itu membuat pipi Khaira semakin panas saja.

Fathan meletakkan kardus martabak itu di meja. Ia mulai menaiki ranjang tapi tangannya di cegah oleh tangan istrinya. Fathan menatap bingung ke arah Khaira. "Kenapa?"

"Iya, boleh."

Bibir Fathan membentuk senyuman tipis, Khaira sama sekali tak menyadari itu. "Apanya yang boleh?"

Khaira menatap kesal ke arah suaminya. "Gapapa, gajadi." Khaira mulai berjalan ke sisi ranjang tempat tidurnya. Tapi baru satu langkah, tubuhnya sudah melayang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fathan.

Akhirnya kedua pasangan suami istri tengah berada di atas ranjang, dengan sang istri tidur di atas dada sang suami, tangan sang suami juga memeluk tubuh istri dari belakang.

"Lebih baik kamu murojaah hafalanmu, Mas yang menyimak." Tangan Fathan terulur mengambil kitab alfiyah di atas meja nakas.

Pelan tapi pasti, Khaira mulai melantunkan bait demi bait yang berjumlah satu ribu itu.

Selesai dengan itu, mereka berdua bercakap ria sebelum tidur. "Belum ngantuk tau, Mas. Ngapain dulu gitu?" tanya Khaira mengerucutkan bibirnya.

"Ya ngapain? Kan emang udah waktunya tidur, Dek," balas Fathan. "Lagian udah pukul 10 lebih kan." Fathan mulai menguap, matanya juga sudah memberat.

"Masnya nggak boleh tidur duluan pokoknya," kata Khaira langsung mengambil posisi duduk.

"Ya terus ngapain kalau nggak tidur, hm?"

"Nggak tau. Enaknya ngapain?"

"Tidur lah."

"Masnya pernah mondok kan?" tanya Khaira mulai serius. Fathan menanggapinya dengan anggukan dan deheman, matanya juga sudah terpejam.

"Pelajaran apa yang membuat kantuk hilang?" tanya Khaira lagi

"Kalau kamu?" jawab Fathan bertanya balik.

"Nahwu sama shorof sama yang lainnya juga sih. Tapi yang utama itu. Masnya apa?"

"Mau tau nggak, pelajaran kitab yang paling di tunggu oleh para santri putra?"

"Termasuk Mas juga kan? Apa nama kitabnya?" ucap Khaira antusias.

"Sini Mas bisikin." Khaira dengan patuh menuruti permintaan suaminya.

"Qurrotul uyun," bisik Fathan. Membuat bulu kuduk Khaira berdiri. Apalagi helaan nafas Fathan sampai di lehernya yang tanpa tertutup apapun. "Kamu juga nggak, pas pelajaran kitab itu, kantuk juga hilang."

Khaira mengangguk tapi detik kemudian menggeleng. Alis Fathan terangkat satu. "Kok ngangguk terus geleng?"

"Gatau."

"Kok gatau? Apa yang gatau?"

"Ya gatau, soalnya Khaira nggak paham," ucap Khaira jujur. Kepolosan Khaira membuat lelaki itu kembali menghela napas panjang.

"Siapa yang ngajar?" tanya Fathan.

"Ehm, Gus Fatah eh Masnya kan?" tunjuk Khaira ke arah suaminya. Fathan semakin salah saja posisinya. Bagaimana tidak, dulu ia di titah Abahnya untuk menggantikan Fatah mengajar bahkan itu beberapa kali. Bagaimana bisa ia menolak.

Ning KhairaWhere stories live. Discover now