15. Lapuk untuk Kemudian Patah

1.9K 208 67
                                    

''Punya banyak luka itu memang berat, tapi menyerah bukanlah pilihan yang tepat.''

💎Happy reading💎

Pagi harinya, saat Fian terjaga, ia masih bisa melihat bagaimana Dirga memejam di sampingnya dengan selimut yang menutupi tubuh sampai ke dada. Sementara tubuh Fian juga berada dalam selimut tebal, tapi selimut yang berbeda. Tak tahu sejak kapan benda tebal itu membalut tubuhnya. Fian bahkan sama sekali tak terusik saat tadi malam Dirga bangkit untuk mengambil selimut lain di lemari. Untuk kemudian menyelimuti tubuhnya yang terhanyut dalam dunia mimpi.

Terlalu lama menatap Dirga seperti ini membuat Fian mengingat lagi kejadian mengerikan malam tadi. Masih terekam jelas bagaimana wajah Dirga membiru dengan peluh yang membasahi, tapi lihatlah bagaimana sekarang wajah itu terpejam lelap sekali.

Fian buru-buru bangkit dari posisi, kemudian mengendap ke luar tanpa menimbulkan suara sama sekali. Berusaha menutup pintu dengan hati-hati.

Namun, saat ia berbalik badan, lelaki itu dikagetkan dengan kehadiran Fino yang kini menatapnya melalui ekor mata. Fino di sana baru saja keluar dari kamarnya, setelah lebih dulu membersihkan diri tentunya. Lelaki itu sama terkejutnya dengan Fian. Bahkan ia sempat tak percaya dengan apa yang baru saja indera penglihatannya tangkap barusan. Fian keluar dari kamar Dirga pagi-pagi buta? Lalu, apa-apaan dengan wajah kusut itu?

"Lo ngapain di situ, Bang?" tanya Fino kemudian. Tangan kanannya bahkan masih berpegangan pada kenop pintu.

"Ah ... eng--enggak apa-apa. Emang kenapa kalau gue di sini?"

"Jangan bilang lo ...."

Fino sengaja menggantung ucapannya. Membiarkan Fian sendiri yang nanti melanjutkan tanpa harus ia menjelaskan lebih panjang apa yang terlintas dalam kepala.

Fian sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa. Takut lagi-lagi kembarannya itu marah hanya karena masalah yang tak seberapa. Iya, setidaknya begitu menurut sudut pandang Fian. Kepeduliannya terhadap Dirga memang tidak patut dijadikan bahan perdebatan. Namun, tidak begitu bagi Fino. Karena bagi Fino, Fian hanyalah abangnya, miliknya, dan tak ada satu orang pun yang boleh mengambil Fian dari sisinya. Kecuali nanti saat mereka sama-sama sudah dewasa. Fino tak mungkin segila itu untuk terus menahan Fian di sisinya, mengabaikan keinginan Fian yang mungkin saja ingin segera menikah.

"Apa, sih? Gue ke kamar dulu. Mau mandi."

Fian bergegas mengatur langkah. Berjalan paling pinggir agar tak begitu dekat dengan Fino yang nanti pasti akan dilewatinya. Hanya butuh beberapa langkah lagi dan Fian akan segera bisa mencapai pintu kamarnya sendiri.

Menghela napas kasar, Fino lantas memblokir jalan dengan tubuhnya. Pertanyaannya belum mendapat jawaban dan Fino sangat membutuhkannya. Sebenarnya Fino tahu kalau Fian semalaman tidur di kamar Dirga---walau tak mengerti kenapa abangnya memutuskan tidur di sana. Namun, Fino ingin mendengar jawaban itu terlontar dari mulut Fian sendiri. Menguji apakah abangnya akan berbicara jujur atau malah membohonginya lagi kali ini.

"Jawab dulu pertanyaan gue!" Fino menginterupsi dengan tangan kanan memegang pagar pembatas agar Fian tak bisa melanjutkan langkah.

"Gue tidur di kamar Dirga semalam. Kenapa emang?"

Memang jawaban seperti itu yang Fino ingin dengar, tapi kenapa saat jawaban itu benar-benar Fian lontar, rasanya ada sesuatu di dadanya yang terbakar? Seharusnya Fino lega karena Fian tak berbohong padanya, tapi kenyataannya Fino malah merasa sesak lebih dari saharusnya.

"Alasannya?"

Walau tak sepenuhnya bisa menerima, setidaknya Fino ingin mendengar alasan kenapa Fian lebih memilih tidur di kamar Dirga. Fino hanya ingin tahu, drama apalagi yang Dirga perbuat tadi malam sampai abangnya rela tak tidur di kamarnya sendiri.

Satria Dirgantara [Complete]Where stories live. Discover now