37. Dulu Asing Sekarang Penting

2K 173 65
                                    

''Guling-guling''

💎Happy reading💎

Pekik lantang Fino selalu Dirga biarkan menguar begitu saja. Tanpa satu kata pun ingin Dirga lakukan sesuai perintah abangnya. Sedari tadi Fino selalu membantah apa yang ia inginkan. Dan Dirga juga tak akan mau menurut saat abangnya memerintah balik dirinya. Kalau seperti ini permainan jadi satu sama. Tak ada yang menang dan tak ada yang kalah. Itu artinya, tak ada yang mau mengalah.

"Enggak usah banyak gerak. Lo batu banget, sih dibilangin."

Lagi-lagi pergerakan ringan dari Dirga kembali mengundang teriakan dari Fino. Padahal Dirga hanya ingin meraih gelas yang ada di samping tempat tidurnya. Akan tetapi, abangnya itu kembali membentaknya. Seolah apa yang Dirga lakukan akan berdampak buruk pada tubuhnya. Padahal Dirga yakin efeknya tak akan sebegitu besarnya. Kalau seperti ini lebih baik Dirga dikutuk jadi batu saja. Agar tak bisa bergerak kalau tak ada seseorang yang mengangkatnya.

"Gue cuma mau minum, Bang. Astaga. Abang mau gue mati kehausan? Dari tadi marah-marah mulu perasaan," balas Dirga. Masih dengan tatapan sebal yang sedari tadi tak pernah luntur di wajahnya.

"Minta tolong 'kan bisa." Setelahnya lelaki itu bergerak untuk mengambil gelas di atas meja. Untuk kemudian memberikannya kepada Dirga yang disambut cepat oleh adiknya.

"Ya lagian, gue mau pulang, Bang. Udah dari tadi loh gue bilang mau pulang. Enggak ada satu orang pun yang dengerin. Capek tau tiduran mulu kayak orang koma. Untung enggak koma beneran, ya."

"Jaga omongan lo!"

Di detik yang sama saat Fino bersuara, Dirga bisa merasakan air yang baru saja ia minum seolah membekukan seluruh tubuhnya. Padahal Dirga hanya bercanda, tapi Fino justru menanggapinya dengan amarah.

"Iya maaf, tapi gue mau pulang, Bang. Please! Bilangin ke ayah kalau gue enggak mau lama-lama di sini. Gue takut disuntik lagi, Bang. Satu suntik infus aja udah bikin gue mau mati rasanya. Apalagi dokternya sering keluar masuk dan nyuntik tubuh gue seenaknya. Dia pikir enggak sakit apa?"

Entah kenapa semenjak Dirga bangun, anak itu selalu banyak bicara. Akan selalu ada keluhan yang ia suarakan. Seolah apa yang ia terima di rumah sakit itu terasa begitu menyakitkan. Padahal Fino yakin tak begitu adanya, Dirga saja yang terlalu berlebihan. Namun, jika itu tentang suntikan, Fino setuju-setuju saja. Karena dari kecil, Fino selalu takut saat melihat ujung jarum itu mendekat ke arahnya. Seolah ujung tajam itu bisa mengurangi masa hidupnya. Jujur saja, Fino takut suntikan dan tak heran jika Dirga juga merasakan hal yang sama.

"Gue cuma mau lo baik-baik aja. Semua juga berharap lo enggak kenapa-kenapa, tapi kenapa lo ngeyel banget dibilangin? Mulai minggu depan lo bakal jalanin kemoterapi secara rutin. Itu udah ayah putusin."

"H--ah? Ah, Bang jangan becanda. Gue ngeri dengar kata terapi. Enggak-enggak. Gue enggak mau. Gue mau pulang. Sumpah demi pukulan Bintang yang masih terasa, gue baik-baik aja, Bang. Ayah mana? Gue mau ngomong sama ayah."

"Sialan. Gue muak. Kalau lama-lama di sini cuma bakal bikin gue darah tinggi. Mending gue pergi."

Fino begitu saja pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Membuat Dirga melongo di tempatnya. Dirga pikir Fino hanya bercanda saat mengatakan ia akan pergi, tapi ternyata sebelum Dirga bisa membalas apa-apa, Fino benar-benar pergi. Meninggalkan Dirga yang jadi bingung sendiri. Padahal Dirga hanya mengatakan apa yang ia rasa. Bahwa ia tak butuh menjalankan pengobatan apa-apa. Tubuhnya terasa baik-baik saja dan Dirga tak butuh apa-apa selain pulang ke rumah.

Namun, sepertinya Fino tak berpikir sama seperti Dirga. Karena bagi Fino, keselamatan Dirga lebih penting dari segalanya, tapi kenapa anak itu justru keras kepala? Padahal Fino ingin Dirga baik-baik saja. Sama seperti apa yang Fian dan Fandi harapkan juga.

Satria Dirgantara [Complete]Where stories live. Discover now