16. Rasanya Menyesakkan

1.7K 194 34
                                    

''Rasa cinta bisa berubah menjadi benci dalam sekejap mata, begitupun sebaliknya.''

💎Happy reading💎

Hal pertama yang Dirga lihat saat sukses membuka kelopak mata adalah langit-langit ruangan yang diberi cat warna putih bersih. Saat ia menjatuhkan pandangan ke sekitar, Dirga tahu kalau kini ia sedang berada di UKS. Walau ini kali pertama Dirga memasuki ruangan ini, Dirga tetap bisa tahu kalau sekarang ia berada di UKS. Pasalnya dulu Dirga juga sering masuk ke ruangan pengap ini di sekolahnya yang lama. Suasananya jelas tak jauh berbeda dan Dirga tak butuh waktu lama untuk mengartikan semua.

Sejauh mata memandang, yang dapat Dirga lihat hanya sebatas ruangan kosong---walau masih ada dua brankar lainnya yang tak berpenghuni---tak ada satu orang pun yang menemani. Tidak guru kesehatan, tidak pula satu teman sekelasnya. Teman, ya? Memang semenjak kapan Dirga kenal apa itu teman?

Sampai akhirnya Dirga menarik satu senyuman. Mencoba menyusun kembali hatinya yang mulai tak beraturan. Sensasi rasa di kepala memang tak lagi terasa menyakitkan, tapi sakit di pipinya membuat Dirga teringat apa yang telah terjadi. Beberapa waktu lalu, Bintang memukulnya kuat sekali. Sampai Dirga tak sadar ia mendapatkan pukulan itu sebanyak berapa kali. Hanya sunyi dengan pemandangan hitam di sekitar saja yang bisa Dirga ingat terakhir kali. Ah, tidak. Sepertinya ada banyak bintang-bintang yang berputar di kepala. Sampai akhirnya Dirga benar-benar tak lagi mengingat apa-apa.

Atensi Dirga sepenuhnya teralih. Ketika pintu UKS berbunyi dan menampakkan sosok perempuan paruh baya tengah berdiri di ambang pintu. Kemudian perempuan itu tersenyum saat melihat Dirga sudah sadarkan diri.

"Sudah bangun ... mmm, Dirga?" tanya wanita itu ragu-ragu.

Untuk itu Dirga segera mengangguk dan mempersilahkan guru UKS itu masuk. Padahal kalau tidak dipersilahkan pun guru itu pasti akan masuk. Toh ini tempat miliknya. Guru itu yang lebih berhak atas apa-apa yang ada di sini, tapi dengan bodohnya Dirga malah mempersilahkan guru itu masuk.

"Ini ibu bawain roti sama teh hangat. Kamu minum, ya. Itu bibir kamu pucat banget loh," katanya sembari meletakkan roti juga segelas teh hangat di meja samping brankar yang Dirga tiduri.

Dirga baru akan mengucap terima kasih, tapi suara Sang Guru lebih dulu terdengar dan membuat Dirga otomatis menelan kembali kalimatnya. Mendengarkan dengan seksama apa yang akan guru itu tanyakan atau katakan padanya.

"Salah satu teman kelas kamu liat kamu pingsan di kelas ... dan sepertinya kamu dihajar? Atau habis berantam?"

"Saya dipukuli, Bu," jawab Dirga dengan suara lantang.

Dirga tak mungkin begitu saja bisa memaafkan apa yang sudah Bintang lakukan. Memaafkan dengan hati yang lapang bukanlah cara Dirga mengakhiri semua. Itu hanya akan membuat Bintang merasa semakin berkuasa dan berakhir kembali menyiksanya. Lebih baik Dirga mengadukan semua pada guru agar anak itu mendapat ganjaran dari perbuatannya. Berharap dengan begitu Bintang jera dan tak akan melakukan kesalahan yang sama. Cukup hari ini dia dipukuli, besok jangan lagi.

"Siapa yang mukulin kamu? Astagaa ... anak-anak sekarang kasar-kasar, ya. Sampai bikin anak orang pingsan segala."

"Namanya Bintang, Bu. Saya enggak tau dia dari kelas mana, tapi ... kalau soal pingsan kayaknya enggak sepenuhnya salah Bintang, deh, Bu. Saya pingsan, mah karena emang dasarnya aja lemah. Hehehe."

➰➰➰

"Tunjukin mana orangnya ke gue besok. Biar gue buat babak-belur juga muka, tuh anak sialan."

Suara Fian menggema di sudut-sudut rumah saking kencangnya ia bersuara. Padahal Dirga duduk kurang dari satu meter darinya, tapi Fian benar-benar tak bisa menahan amarah saat mendengar Dirga bercerita tentang bagaimana anak itu mendapatkan memar di pipinya.

Satria Dirgantara [Complete]Where stories live. Discover now