39. Dalam Peluk Bahagia

1.5K 173 41
                                    

''Kalau punya luka, diobati, ya! Jangan dibiarkan saja dan berpikir semua akan sembuh setelah sekian lama. Bagus kalau lukanya benar-benar sembuh seperti sediakala, tapi, bagaimana kalau lukanya malah semakin parah?''

💎Happy reading💎

Sejauh Fino mengamati, Dirga memang sudah terlihat baik-baik saja. Anak itu sudah kembali dengan senyum cerah seperti biasa. Setiap harinya anak itu sering terlihat sedang tertawa. Seolah hari-hari yang ia lewati selalu di dalam peluk bahagia. Diam-diam Fino juga merasakan hal yang sama. Setiap kali melihat senyum Dirga, ia pun ikut tersenyum di tempatnya. Sembari merekam dengan jelas bagaimana mata Dirga menyipit karena senyumnya.

Bahkan saat tadi Dirga tanpa sengaja terjatuh di anak tangga terakhir, anak itu masih bisa tertawa. Awalnya Fino ingin membantu, tapi melihat bagaimana anak itu tertawa, Fino juga akhirnya melakukan hal yang sama. Ikut tertawa dan mengatakan kalau Dirga itu anak yang ceroboh.

Kini Fino bersyukur Dirga itu adalah adiknya. Fino bersyukur saat tahu kalau sosok malaikat berwujud manusia itu adalah saudaranya. Rasanya seperti Fino kembali menemukan bahagianya. Yang sudah lama tiada bersama kepergian bunda. Fino tak akan lupa siapa yang membuat bundanya pergi dari rumah, tapi kini Fino sadar yang patut disalahkan di sini adalah ayahnya. Tak ada yang lebih pantas disalahkan selain Fandi. Karena ia yang tak cukup satu wanita, semua ini malah terjadi.

Fino benci, tapi sialnya ia masih begitu peduli. Karena sejauh apa pun Fino berlari, sekeras apa pun Fino mencoba untuk tak lagi peduli, tak ada satu pun yang akan berubah di sini. Fakta bahwa Fandi adalah ayahnya tak akan bisa ia hapus begitu saja.

Hari Minggu biasanya Fino habiskan untuk menonton TV di ruang keluarga. Namun, Minggu kali ini masih sama dengan Minggu yang lalu. Tak ada suara berisik TV yang menyala. Karena rumah ini tak lagi mempunyai TV. Terkadang Fino jadi risih sendiri kala mengingat rumah sebesar ini tak memiliki TV.

"Bang. Mumpung Minggu, nih. Jalan-jalan yuk. Ke mana kek. Bosan di rumah!"

Pekik suara Dirga yang entah datang dari mana hampir membuat Fino melompat dari sofa. Salahkan Dirga yang datang tiba-tiba dan berbicara seperti mereka berjarak satu kilometer saja. Terlalu keras sampai membuat sakit telinga.

"Lo pikir gue budeg?" tanya Fino.

"Hehehe ... maaf, Bang! Gue lagi semangat soalnya. Ayolah, Bang jalan-jalan. Sebentar juga enggak apa-apa."

"Enggak ada duit. Lo 'kan tau keluarga kita lagi susah. Enggak usah aneh-aneh. Di rumah aja, belajar yang benar. Ada manfaatnya."

Ada sengat hangat yang diam-diam memeluk Dirga. Tepat saat Fino menyelipkan 'keluarga kita' pada kalimatnya. Rasanya seperti ada yang berbeda, tapi Dirga suka. Merdu sekali sampai Dirga ingin mendengar kalimat yang sama berulang dari mulut abangnya. Jadi ... Dirga benar-benar sudah jadi bagian dari keluarga ini, ya?

Tanpa sadar Dirga menarik sudut bibirnya. Menciptakan lengkungan indah seperti biasa. Kemudian anak itu kembali membuka suara. Suara yang terdengar begitu rendah, tapi efeknya malah membuat Fino mendengus di tempatnya.

"Makasih, Bang." Lagi-lagi anak itu menarik senyuman yang lebih lebar.

"Lah? Gue nolak loh, Ga. Gue bilang enggak usah aneh-aneh. Belajar aja, udah. Ngapain minta makasih coba?"

Dirga tertawa, kemudian membalas lagi perkataan Fino. "Ya udah kalau Abang enggak mau gue ajak jalan-jalan mah. Kayaknya Bang Fian udah siap. Tinggal pergi berdua juga."

Dirga baru akan melangkah kembali ke kamarnya. Niatnya anak itu mau mengganti baju yang sama sekali tak cocok kalau dibawa ke luar sana. Terlalu lusuh. Warnanya saja sudah memudar dimakan waktu. Namun, suara Fino membuat Dirga seketika berhenti. Kemudian menatap Fino dengan tatapan sedikit menghakimi.

Satria Dirgantara [Complete]Where stories live. Discover now